A.
Pendahuluan
Ekonomi Islam
telah lahir sejak Rasulullah Saw menyebarkan ajaran Agama Islam, kemudian
dilanjutkan oleh para sahabat hingga memiliki kemajuan yang begitu pesat pada
masa Dinasti
Abbasiyah
dan pada akhirnya masih juga dilakukan sampai zaman sekarang, walaupun saat ini
masih banyak campur aduk ekonomi Barat
dalam aktifitas perekonomian masyarakat khususnya Umat Islam.
Kemunculan
ekonomi Islam bukan karena ekonomi ortodok, melainkan karena sejarah
membuktikan bahwa kemunculan ekonomi Islam sejak Rasulullah Saw hidup. Ekonomi
Islam merupakan bagian integral ajaran Islam, bukan dampak dari sebuah keadaan
yang memaksa kemunculannya, jadi bukan karena ekonomi ortodok yang memaksa
kehadiran ekonomi Islam. Ekonomi Islam juga memiliki tujuan yang sangat penting
yaitu
menciptakan kesejahteraan umat manusia khususnya terpenuhinya kebutuhan setiap individu dengan cara yang
disahkan oleh Undang-Undang Pemerintah maupun hukum syariat (Agama).
B.
Pengertian Ekonomi Islam
Menurut beberapa
ahli ekonomi Islam (Kursyid ahmad)
bahwa pengertian ekonomi Islam adalah “sebuah
usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi, dan tingkah laku
manusia secara relasional dalam perspektif Islam”.[1] Sedangkan menurut Muhammad Abdul Manan adalah “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”.[2]
Menurut Badan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, bahwa
pengertian dari ekonomi Islam adalah
“ilmu yang mempelajari usaha manusia
untuk mengalokasikan dan mengolah sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan
pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Sunnah”.[3]
Salah satu aspek penting
yang terkait dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi. Ajaran Islam tentang
ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Al-quran dan Hadits.
Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi seperti prinsip tauhid, adil,
maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip ini menjadi landasan kegiatan ekonomi di dalam Islam yang
secara teknis operasional selalu berkembang dan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan zaman [4]dan
peradaban yang dihadapi manusia. Contoh variabel yang dapat berkembang antara
lain aplikasi prinsip mudharabah dalam bank atau asuransi.4
C.
Sumber Ekonomi Islam
Adapun
sumber-sumber hukum dalam ekonomi Islam adalah:
1.
Alquranul Karim
Alquran adalah sumber utama, asli,
abadi, dan pokok dalam hukum ekonomi Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasul
Saw guna memperbaiki, meluruskan dan membimbing Umat manusia kepada jalan yang
benar. Didalam Alquran banyak tedapat ayat-ayat yang melandasi hukum ekonomi
Islam, salah satunya dalam surat An-Nahl ayat 90 yang mengemukakan tentang peningkatan kesejahteraan Umat Islam
dalam segala bidang termasuk ekonomi.
2.
Hadis dan Sunnah
Setelah Alquran,
sumber hukum ekonomi adalah Hadis dan Sunnah. Yang mana para
pelaku ekonomi akan mengikuti sumber hukum ini apabila didalam Alquran tidak
terperinci secara lengkap tentang hukum ekonomi tersebut.
3. Ijma'
Ijma' adalah sumber hukum yang ketiga,
yang mana merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun cara cendekiawan
Agama, yang tidak terlepas dari Alquran dan Hadis.
4.
Ijtihad atau
Qiyas
Ijtihad merupakan usaha meneruskan
setiap usaha untuk menemukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan
syariat. Sedangkan qiyas adalah pendapat yang merupakan alat pokok ijtihad yang
dihasilkan melalui penalaran analogi.
5.
Istihsan,
Istislah dan Istishab
Istihsan,
Istislah dan
Istishab adalah bagian dari pada sumber hukum yang lainnya dan telah
diterima oleh sebahagian kecil oleh keempat mazhab.[5]
D.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi
yang mandiri, oleh karenanya Islam mendorong kehidupan sebagai kesatuan
yang utuh dan menolong kehidupan seseorang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat, yang individu-individunya saling
membutuhkan dan saling melengkapi dalam skema tata sosial, karena manusia
adalah entitas individu sekaligus kolektif. Ekonomi Islam adalah cara hidup
yang serba cukup, Islam sendiri menyediakan segala aspek eksistensi manusia
yang mengupayakan sebuah tatanan yang didasarkan pada seperangkat konsep Hablum
min-Allah wa hablum min-Annas, yang berkaitan tentang Tuhan, manusia dan
hubungan keduanya (tauhidi).[6]
Gagalnya sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu,
negara-negara muslim sangat membutuhkan suatu sistem yang lebih baik yang mampu
memberikan semua elemen untuk berperan dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan. Sistem ekonomi islam bukanlah sistem ekonomi alternatif maupun sestem ekonomi
pertengahan; sistem ekonomi
islam merupakan sistem ekonomi solutif atas berbagai permasalahan yang selama
ini muncul.Sistem ekonomi Islam hadir jauh lebih dahulu dari kedua sistem yang
dimaksud di atas, yaitu pada abad ke 6, sedangkan kapitalis abad 17, dan
sosialis abad 18.[7]
Dalam sistem ekonomi Islam, yang ditekankan adalah terciptanya pemerataan
distribusi pendapatan, seperti tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya,
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (Al-Hasyr: 7).[8]
Pada sistem
ekonomi Islam terdapat beberapa asas sistem ekonomi Islam yang dikemukakan oleh
Zullum (1983), Az-Zain (1981),
An-Nabhaniy (1990), dan Abdullah
(1990), yaitu:
1.
Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
Pada asas
pertama yaitu kepemilikan telah diuraikan pada prinsip dasar ekonomi Islam, dan
sesungguhnya pemilik kepemilikan harta itu adalah Allah SWT dan sekaligus Dzat
yang memiliki kekayaan tersebut, seperti dalam surat An-Nuur {24} : (33).[9]
2.
Pengelolaan Kepemilikan (At-Tasharrufi Al-Milkiyyah)
Secara garis
besar, pengelolaan kepemilikan mencakup kepada dua kegiatan yaitu:
a.
Pembelanjaan Harta
Pembelanjaan
harta adalah "pemberian harta tanpa
adanya kompensasi", dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada,
Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah
dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infaq fi sabilillah, membayar zakat, dan lainnya.
Kemudian nafkah sunnah seperti sodaqoh, hadia, dan lainnya. Dan
setelah itu dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah, dan hendaknya
harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk hal-hal terlarang seperti untuk membeli
barang
haram,
minuman
keras, dan lainnya.[10]
b.
Pengembangan Harta
Pengembangan
harta adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki. Seorang
Muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan
ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah
memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli,
kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian,
maupun perdagangan. Selain itu, Islam juga melarang pengembangan harta yang
terlarang seperti jalan aktifitas riba,
judi, serta aktifitas terlarang
lainnya.[11]
3.
Distribusi Kekayaan ditengah-tengah Manusia
Karena
distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan
juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi
kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara' yang ditetapkan untuk menjamin
pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan
dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta akad-akad mu'amalah
yang wajar.
Namun demikian, perbedaan
potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu
kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut diantara
mereka. Selain itu perbedaan antar masing-masing individu mungkin saja
menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan
tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada
segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi
akibat penimbunan alat tukar yang fixed,
seperti emas dan perak.[12]
E.
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam nilai-nilai ekonomi bersumber
Al-Qur’an dan Hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi
lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi,
Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam
setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari
setiap kegiatan ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam
terdapat sistem yang saling terkait antara satu dengan lainnya, yaitu mencakup
pandangan dunia (al-kholqiyah) dan moral (al-khuliqiyah) yang
mempengaruhi, membimbing dan membantu manusia merealisasikan sasaran-sasaran
kemanusiaan (insaniyah) yang berketuhanan (rabbaniyah) guna
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Maka untuk merealisasikan tujuan ini
terdapat empat landasan filosofis dalam ekonomi Islam yaitu: tauhid, keadilan,
khalifah, kebebasan dan tanggung jawab, sebagaimana penjelasan berikut:
1. Tauhid
Untuk mencapai kesejahteraan satu-satunya landasan paling
fundamental adalah tauhid, karena dengan landasan tauhid ini dapat di bedakan
antara ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional. Tauhid membersihkan agama
secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi dan keesaan tuhan.
Hanya Allah lah yang patut di agungkan dan di sucikan, dijadikan
tempat mengadu dan meratap.[13] Dengan tauhid itu manusia bisa
mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu mengukuhkan Tuhan sebagai
satu-satunya pencipta alam semesta dan mensederajatkan semua manusia
sebagai mahluk tuhan.[14]
Dan yang membedakan derajat seseorang dihadapan Allah SWT adalah ketaqwaannya.
2. Khalifah
Manusia diciptakan selain
untuk menyembah kepada-Nya tetapi juga ditugaskan sebagai
wakil-Nya dimuka bumi.[15] Ia telah dibekali dengan semua
karakteristik mental dan spiritual serta materil untuk memungkinkannya hidup
dan mengemban misinya secara efektif.
Dalam pengolahan dan pengelolaan disini terkandung makna
sinergi yang memberi tekanan pada kerjasama dan tolong menolong dalam arti
bahwa mereka yang bekerja meraih kemakmuran dibumi harus dilakukan tanpa
melakukan pengorbanan terhadap orang lain (al-fasad) sementara kalau
memperoleh kelebihan harus digunakan untuk member manfaat dan pertolongan
kepada sesama.[16]
3. Keadilan dan keseimbangan
Konsep tauhid dan
khilafah akan tetap menjadi konsep yang kosong dan tidak memiliki substansi
jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi. Seperti dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah bahwa” Allah menyukai negeri adil meskipun kafir, tetapi tidak
menyukai Negara tidak adil meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan
dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan
ketidakadilan meskipun Islam”. Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha’
sebagai isi pokok maqashid asy-syari’ah. Islam sangat menentang keras
berbagai bentuk ketidakadilan, ketidak merataan,eksploitasi, penindasan dan
kekeliruan, sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi
kewajibannya terhadap mereka.[17]
4. Kebebasan (al-khuriyyah)
Tidak ada kalimat yang
merdu di dengar, yang indah dirasakan, dan selalu menjadi dambaan insan setelah
aqidah dan keimanan menancap di kalbu kecuali senandung kalimat kebebasan. Akan
tetapi kebebasan disini bukan berarti bebas mutlak tanpa batas, tetapi
kebebasan yang terikat dengan hak-hak orang lain, dengan kepentingan umum bagi
masyarakat, dan terpenting lagi adalah keterikatan dengan koridor syari’ah,
juga system undang-undang sipil dalam suatu Negara.[18]
Disini manusia mempunyai suatu kebebasan untuk berbuat suatu
keputusan ekonomis yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena
dengan kebebasan itu manusia dapat mengoptimalkan potensinya dengan
melakukan inovasi-inovasi dalam kegiatan ekonomi. Maka konsekuensi dari
kebebasan ini adalah sebuah keniscayaan untuk seluas-luasnya terus
mengembangkan kreatifitasnya, melakukan inovasi-inovasi ekonomi sesuai dengan
kebutuhan manusia juga kebutuhan pasar yang secara dinamis mengalami
perubahan-perubahan.[19]
5. Tanggung jawab (al-mas’uliyyah)
Tanggung jawab adalah
merupakan konsekuensi logis daripada sebuah kebebasan. Dalam pandangan Islam
tanggung jawab manusia hanya tidak sebatas tanggung jawab individu dan sosial,
tetapi yang lebih penting lagi adalah tanggungjwab dihadapan Allah SWT. Maka
dari itu makna kebebasan adalah suatu amanah dari Allah yang harus di
implementasikan manusia dalam aktifitas kehidupannya.
Pertanggungjawaban manusia perlu difahami dalam dua
aspek, yaitu aspek transcendental (transcendental accountability) yaitu
suatu keyakinan akan adanya hari pembalasan, perhitungan sebagai selfcontrol.[20]
Sehingga bagi orang yang sadar akan eksistensi hari pembalasan akan
mampu mengartikulasikan kehidupan dengan sikap dan perilaku
yang baik, karena pada hari perhitungan nanti
manusia akan disuruh membaca sendiri catatan amalannya, untuk menjustifikasi
eksistensinya di muka bumi.[21]
F.
Perbedaan Ekonomi Islam dengan beberapa Ekonomi
Konvensional
1. Ekonomi Islam
Pada
perekonomian Islam, sistem yang digunakan adalah sistem yang berlandaskan dari Alquran dan Hadis, baik aktifitasnya
maupun barangnya. Dan ciri lainnya adalah larangan terhadap pengambilan
riba, tidak adanya penguasaan tertentu oleh individu.[22]
2. Ekonomi Kapitalisme
Sistem ini
dikenal sebagai sistem perusahaan bebas, dibawah sistem ini seorang individu
berhak menggunakan dan mengawal barang-barang ekonomi yang diperolehnya.
Sedangkan sifat utama sistem ini adalah menolak nilai-nilai aqidah dan syariat,
pengambilan riba, faktor-faktor ekonomi dikuasai oleh individu tertentu secara
terus-meenerus, pemodal-pemodal bank yang besar mempunyai kuasa yang berlebih,
dan memiliki unsur mengasas monopoli karena menjadi setiap pemodal untuk
menguasai segalanya dan menghapuskan semua persaingan dengannya.[23]
3. Ekonomi Sosialisme
Ciri utama pada
prinsip ekonomi sosialisme adalah mengembalikan kuasa ekonomi dari pada
golongan Borjuis (Kapitalis) kepada
golongan Proliter (Petani dan buruh), menyerahkan semua sumber alam
dan sumber ekonomi kepada Negara untuk dialihkan sama rata kepada rakyat,
Negara memiliki kuasa sepenuhnya atas pekerjaan yang dihasilkan oleh rakyat.[24]
4. Ekonomi Komunisme
Ekonomi
komunisme merupakan suatu sistem ekonomi sosialis yang radikal dan satu doktrin
politik yang diasaskan oleh Karl Marx.
Menerusi sistem
ini, semua tanah dan modal sama ada yang asli dan buatan manusia, berada
ditangan Negara sepenuhnya. Rakyat akan menerima pendapatan menurut keperluan mereka, bukan mengikut
kebolehan mereka.[25]
5.
Ekonomi Campuran
Ekonomi campuran
atau disebut juga dengan sistem "klon",
sedangkan ciri utama sistem ini adalah hak milik harta boleh berubah dari hak
milik individu secara mutlak kepada hak milik Negara sepenuhnya.[26]
Adapun letak
perbedaan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dapat dilihat dari beberapa
sudut, yaitu:
1) Sumber (epistemology)
Sebagai
sebuah Agama yang diridhai oleh Allah SWT, sumber ekonomi Islam berasaskan
kepada sumber yang mutlak yaitu Alquran
dan As-Sunnah, kesemuanya itu
menjurus kepersoalan ekonomi yang lengkap pada suatu tujuan yakni pembangunan
keseimbangan rohani dan jasmani manusia
berasaskan Tauhid. Sedangkan ekonomi konvensional tidak bersumber atau
berlandaskan wahyu, yang mana lahir dari pemikiran manusia yang akan berubah
berdasarkan waktu ataupun masa.[27]
2)
Tujuan Hidup
Tujuan kehidupan yang dibawa oleh
konsep ekonomi Islam adalah membawa kepada konsep al-falah (kemenangan,
kejayaan), sedangkan konsep ekonomi konvensional membawa tujuan kehidupan
pada konsep kepuasan di dunia saja.[28]
3)
Konsep Harta sebagai Wasilah
Didalam
Islam harta bukanlah merupakan tujuan hidup tetapi sekedar washilah atau
perantara bagi mewujudkan perintah Allah SWT. Sedangkan menurut ekonomi
konvensional bahwa harta adalah tujuan hidup yang tidak mempunyai kaitan dengan
Tuhan dan akhirat sama sekali.[29]
G. Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Adapun
lembaga-lembaga kontrol dalam sistem ekonomi yang akan terjamin lurusnya sistem
ekonomi menurut arahan yang telah dijelaskan atau ditetapkan dalam syariah
adalah:
1.
Kekuasaan Al-Hisbah
Hakim hisbah melakukan kontrol terhadap pasar,
timbangan, takaran, dan penipuan di pasar dan tempat-tempat umum serta monitor
sebagai pelanggaran lainnya.[30]
2.
Kekuasaan Peradilan
Peradilan
menyelesaikan semua perselisihan, termasuk perselisihan finansial dan ekonomi,
yang kadang muncul dalam mu'amalah keseharian masyarakat.[31]
3.
Berbagai Biro
Berbagai alat
untuk mengontrol dan mengaudit aliran harta di baitul mal yang berkaitan
dengan harta zakat, harta Negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro tersebut menangani kontrol
atau pengawasan terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap aliran harta
terjadi pada tempatnya secara benar.[32]
4.
Kekuasaan Mazhalim
Mazhalim menangani pengaduan yang ditujukan atau diajukan
melawan penguasa jika mereka melakukan kezhaliman terhadap rakyat dalam segala
kebijakan di segala bidang, termasuk kebijakan finansial dan ekonomi.[33]
[4] Ibid, h. 9
[5] Muhammad
Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bakhti Prima Yasa, 1997), h. 28-38.
[6] Ibid
[7] Ziah
Maulidah, Perbandingan Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional, dalam http://hidupberawaldari.blogspot.com/2012/10/perbandingan-ekonomi-islam-dengan.html
(diakses, 10 Maret 2016)
[8] Depag,
Al-Qur’an dan Terjemah (Surabaya: CV. Penerbit Fajar Mulya,1998),
h. 546
[9] Mustafa Edwin
Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi
Islam (Jakarta: Kencana,2006),h.18-19
[10] Muhammad Siddiq Al-Jawi, Asas-Asas
Sistem Ekonomi Islam, (Yakarta: Kencana, 2005), h.4
[11] Ibid
[12] Muhammad Siddiq Al-Jawi, Asas-Asas
Sistem Ekonomi Islam, (Yakarta: Kencana, 2005), h.5-6.
[13] M.
Yusuf Qardhawi, Op.Cit h. 203
[14] Isma’il
Razi Al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan (terj. Anas Mahyuddin), (Bandung: Pustaka, 1984), h 165
[15] Departemen
Agama RI, Op.Cit h. 6
[16] Departemen Agama RI, Op.Cit h. 117
[17] Ibid, h. 117
[18] Wahbah Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2005) h. 3
[19] Amiur Nurrudin, Op.Cit h. 34
[20] Ibid h, 35
[21] Isma’il
Razi Al-Faruqi,Op.Cit h 180
[22] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.18
[23] http://www.scribd.com/doc/2163104/sistem-ekonomi-Islam-dan-sistem-ekonomi-konvensional.
[24] http://www.scribd.com/doc/2163104/sistem-ekonomi-Islam-dan-sistem-ekonomi-konvensional.
[25]
http://www.scribd.com/doc/2163104/sistem-ekonomi-Islam-dan-sistem-ekonomi-konvensional.
[26]
http://www.scribd.com/doc/2163104/sistem-ekonomi-Islam-dan-sistem-ekonomi-konvensional.
[27] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), h.8
[28] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), h.8
[29] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), h.8
[30] http://www.Islamic-center.or.id/-Islamic
learnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-syariah/424-sistem-ekonomi-Islam.
[31] http://www.Islamic-center.or.id/-Islamic
learnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-syariah/424-sistem-ekonomi-Islam.
[32] http://www.Islamic-center.or.id/-Islamic
learnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-syariah/424-sistem-ekonomi-Islam.
[33] http://www.Islamic-center.or.id/-Islamic
learnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-44/27-syariah/424-sistem-ekonomi-Islam.
No comments:
Post a Comment