A. PENDAHULUAN
Paradigma adalah
sumber nilai, kerangka berpikir, orientasi dasar, asas, sumber, serta arah dan
tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses di dalam suatu bidang
tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi, maupun dalam pendidikan. Paradigma juga dapat
berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam
memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual.
Sedangkan pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik
melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas,
paradigma pembangunan dapat didefinisikan sebagai cara pandang terhadap suatu
persoalan pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan baik
pembangunan dalam arti sebagai proses maupun sebagai metode yang bertujuan
untuk mencapai peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesejahteraan rakyat.
Teori pembangunan pun dalam perkembangannya semakin kompleks yang tidak terikat
pada satu disiplin ilmu. Adapun
yang menjadi tujuan dari pembangunan antara lain:
a). Peningkatan standar hidup (levels of living); b). Penciptaan berbagai kondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) seseorang dan c). Peningkatan kebebasan (freedom/democracy) setiap orang.
a). Peningkatan standar hidup (levels of living); b). Penciptaan berbagai kondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) seseorang dan c). Peningkatan kebebasan (freedom/democracy) setiap orang.
Paradigma
pembangunan selalu dan harus berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan
tuntutan jaman dan permasalahan. Terjadinya krisis yang besar sering dan
memaksakan munculnya paradigma baru. Tanpa paradigma baru, krisis yang sama dan
lebih besar akan terjadi lagi. Dalam
sejarahnya Indonesia telah mengimplementasikan beberapa paradigma pembangunan
yang ada di dunia dengan ciri khasnya masing-masing, mulai dari paradigma
liberal yang erat kaitannya dengan modernisasi dan paradigma Marxis dengan
konsep pemberdayaannya. Paradigma
pembangunan yang dijalankan tersebut merupakan proses adaptasi terhadap spirit
zaman yang berkembang.
Di era yang serba
terbuka ini, di mana masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan pembangunan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah maka paradigma pembangunan yang paling sesuai
adalah sebuah paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai salah satu pelaku
dalam setiap proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi hanya dipandang sebagai
“objek”, pandangan kuno bahwa masyarakat tidak mengerti apa-apa terkait dengan
pembangunan merupakan pandangan yang sudah usang. Masyarakat memiliki ciri
khasnya masing-masing dan kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya
(swatata) yang merupakan sebuah potensi besar atau modal dalam proses
pelaksanaan pembangunan ke depan.
B.
PILIHAN
PARADIGMA PEMBANGUNAN (Telah Diterapkan Di Indonesia)
1.
Paradigma Modernisasi: Alat Ukur
Keberhasilan Pembangunan
Masalah yang
mendasar dalam pembangunan adalah adanya ketertinggalan dan keterbelakangan
suatu masyarakat. Ketertinggalan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain tatanan yang ada dan berkembang selama ini di dalam suatu
masyarakat, juga nilai-nilai atau norma yang dianut yang biasanya disebut
dengan tradisionalisme. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan
dan keterbelakangan itu adalah dengan melakukan modernisasi.
Modernisasi
mengandung 3 makna, yang pertama makna yang sangat umum meliputi seluruh
perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju. Sedangkan yang
kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik, ekonomi,
kultural dan mental yang dialami Barat sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya
di abad 19 dan 20. Makna yang kedua ini sering disebut dengan “modernitas” yang
meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi, birokratisasi,
demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi untuk
berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang
ketiga paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau
tertinggal dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang
lebih maju terlebih dahulu.
Salah satu tokoh
penganut paham modernisasi adalah Walt Rostow. Peneliti kelahiran Rusia ini
telah melakukan penelitian tentang tahapan perkembangan ekonomi negara maju
yang disampaikannya dalam sebuah buku The
Stage of Economic Development dengan subjudul A Non-Communist Manifesto.
Teori pembangunan ekonomi dari Rostow ini sangat
populer dan paling banyak mendapatkan komentar dari para ahli. Teori ini pada
mulanya merupakan artikel Rostow yang dimuat dalam Economics Journal (Maret 1956) dan kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960). Menurut pengklasifikasian Todaro,
teori Rostow ini dikelompokkan ke dalam model jenjang linear (linear stages mode).
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa
dibedakan ke dalam 5 tahapan yaitu
1)
Masyarakat tradisional (the traditional society),
2)
Prasyarat untuk tinggal landas (the
preconditions for take-off),
3)
Tinggal landas (the
take-off),
4)
Menuju kekedewasaan (the
drive to maturity), dan
5)
Masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).
Dasar dalam pembedaan tahap pembangunan ekonomi
menjadi 5 tahap tersebut adalah
1)
Karakteristik perubahan keadaan ekonomi,
2)
Sosial, dan
3)
Politik, yang terjadi.
Menurut
Rostow, pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat
tradisional menjadi masyarakat moderen merupakan suatu proses yang
multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan struktur
ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian
dan peningkatan peranan sektor industri saja.
Menurut
Rostow, disamping perubahan seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula
sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain:
1)
Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada
mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar.
2)
Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga,
yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil.
3)
Perubahan kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi tidak
produktif (menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang
produktif.
4) Perubahan sikap hidup dan adat istiadat
yang terjadi kurang merangsang pembangunan ekonomi. (Pasaribu, 2012).
Penerapan teori
Rostow baru dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan
Presiden Soeharto pada tahun 1970an. Pada saat itu dikenal dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun yang dibagi menjadi Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Penerapan
paradigma modernisasi sempat berhasil diterapkan di Indonesia yaitu dengan
keberhasilan swasembada beras sekitar tahun 1984. Selain swasembada beras,
perekonomian Indonesia juga sempat meningkat saat itu ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga Indonesia sempat masuk dalam
kategori negara dengan pendapatan tingkat menengah.
Sayangnya
keberhasilan perekonomian tidak ditopang dengan “pondasi” yang kokoh. Konsep “trickle down effect” yang dilakukan
pemerintah dengan cara memelihara beberapa kelompok konglomerat yang dianggap
dapat berkembang pesat yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga
memiliki visi untuk dapat “mentransfer” pengetahuan kepada masyarakat kelompok menengah ke bawah
malah menciptakan gejolak sosial. Jurang kesenjangan ekonomi malah semakin
besar karena implementasi yang salah dalam memahami konsep “trickle down effect” tersebut.
Untuk mengatasi
kelemahan paradigma modernisasi tersebut sebenarnya pemerintahan saat itu
kemudian juga menjalankan paradigma kebutuhan dasar yaitu dengan melaksanakan
kegiatan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Berbagai fasilitas pun dibangun seperti pendidikan yang saat itu kita kenal
dengan SD Inpres, sarana transportasi dan perbaikan pemukiman. Usaha pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap mendasar itu pun juga tidak
berhasil. Hal ini disebabkan masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan sebagai
pelaku pembangunan. Pemerintah menganggap bahwa kebutuhan masyarakat di setiap
daerah adalah sama. Ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan ini
akhirnya menjadikan masyarakat tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab
terhadap hasil pembangunan.
Selain itu,
kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
juga menjadi sorotan. Paradigma ekologi sempat dilaksanakan pemerintah melalui
beberapa kebijakan yang dijalankan. Pembangunan pun dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek-aspek lingkungan seperti adanya studi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Berdasarkan
fenomena kejadian tersebut, paradigma pembangunan berkelanjutan sebenarnya
dapat dijadikan sebagai salah satu paradigma yang dapat diterapkan di
Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara
bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk
generasi masa kini maupun generasi yang akan datang.
Ada beberapa
ciri-ciri utama dalam pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya cocok untuk
diterapkan di Indonesia antara lain :
·
Menjamin pemerataan dan keadilan
Strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan dilandasi oleh pemerataan
distribusi lahan dan faktor produksi, lebih meratanya kesempatan perempuan dan
pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan
·
Menghargai keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan
keanekaragaman hayati memiliki kepastian bahwa sumberdaya alam selalu tersedia
secara berlanjut untuk masa kini dan masa yang akan datang.
·
Menggunakan pendekatan integratif
Dengan adanya pendekatan yang integratif, maka keterkaitan yang kompleks
antara manusia dengan lingkungan dapat dimungkinkan untuk masa kini dan masa
datang.
·
Menggunakan pandangan jangka panjang
Selain
itu pembangunan berkelanjutan pun memiliki beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan. Beberapa indikator tersebut
antara lain :
ü
Pendapatan
nasional
ü
Pertumbuhan
ekonomi
ü
Pendapatan
perkapita
ü
Distribusi
pendapatan nasional
ü
Kemiskinan
ü
Kesehatan
masyarakat
ü
Pendidikan
masyarakat
ü
Produktivitas
masyarakat
ü
Pertumbuhan
penduduk
ü
Pengangguran dan setengah
pengangguran.
Beberapa indikator di atas dapat dijadikan
sebagai sebuah alat untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan di suatu
daerah. Meskipun perhitungan tersebut bersifat kuantitatif, setidaknya dapat
dijadikan sebagai evaluasi untuk langkah-langkah kebijakan yang harus dilakukan
untuk di masa yang akan datang.
2. Paradigma Pembebasan: Keberlanjutan dalam
Pemberdayaan
Pembangunan
sejatinya adalah membuat masyarakat menjadi berdaya. Pembangunan merupakan
serangkaian upaya sadar untuk membebaskan masyarakat dari segala bentuk
ketertindasan (Development as Freedom).
Ada dua dimensi utama pemberdayaan
masyarakat. Pertama, peningkatan kemampuan (capability
building) masyarakat, yang meliputi perluasan aset masyarakat baik
individual maupun kolektif, kemudian peningkatan pengetahuan, keterampilan
serta perubahan sikap. Kedua, penguatan kelembagaan (institutional strengthening) yang meliputi perubahan nilai dan
norma pada kelembagaan masyarakat dan penguatan organisasi pada komunitas
miskin atau tidak berdaya itu sendiri.
Tokoh-tokoh
penganut paradigma kebebasan adalah John Locke dan Hobbes, kedua tokoh ini
berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep
“negara alamiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature.
Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama
sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi
State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588–1679)
berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek
(egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai.
Oleh
karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru suatu masyarakat politik yang
terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu
lain di mana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). Sedangkan John
Locke (1632–1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik,
namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika
hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian
yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat
bagi penguasa sehingga tidak seperti “membeli kucing dalam karung”. Sehingga,
mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak ketiga (Negara), di
mana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke,
Monarkhi Konstitusional. Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini
sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme.
Tokoh
paradigma pembebasan selanjutnya adalah Adam Smith. Para ahli ekonomi dunia
menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi
kapitalis. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Salah
satu bukunya yang paling banyak dirujuk adalah Buku berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The
Wealth of Nations” atau yang juga sering disebut “The Wealth of Nations” terbitan tahun 1776. Dalam buku ini,
dijelaskan secara detail mengenai hukum-hukum sebab akibat yang menjelaskan
mengenai cara mencapai kesejahteraan. Dijelaskan pula tentang aktor–aktor
ekonomi dan implikasi hukum-hukum ekonomi bagi masyarakat dan negara.
Didalamnya, terdapat pula perspektif ekonomi politik yang menjelaskan tentang
konsep kekayaan (wealth), pembagian
kerja (division of labor), mekanisme
pasar (market mechanism), dan juga paham liberalisme (liberalism) itu sendiri.
Buah
pikiran para filosofis itu bukan hanya mempengaruhi golongan borjuis, melainkan
juga mempengaruhi rakyat jelata yang lebih tertekan dan tertindas. Di Perancis
makin lama makin tertimbun perasaan tidak puas. Pada abad ke-18 golongan
borjuis merupakan golongan minoritas. Bila mereka sendirian melancarkan aksi
kebebasan kemerdekaan, maka tidak mungkin akan berhasil. Oleh sebab itu mereka
lalu mengajak golongan rakyat jelata untuk bersama-sama melawan menantang
golongan bangsawan dan padri. Sebagai akibatnya pada tahun 1789 meletus
Revolusi Perancis. Jadi, Revolusi Perancis itu sebenarnya revolusinya golongan
borjuis yang menuntut kebebasan. Mereka itu kemudian disebut Golongan Liberal
(Golongan orang-orang yang bebas merdeka).
Dalam paradigma
kebebasan terdapat beberapa prinsip dasar yang utama yaitu kebebasan,
individualisme, universal dan kesetaraan,
serta pluralisme.
1)
Kebebasan Liberalisme. Didefiniskan sebagai isi
prinsip-prinsip moral dalam menggunakan kekuasaan negara yang sah. Melalui
definisi ini, Negara dikatakan liberal hanya jika Negara tersebut mewajibkan
kebebasan yang seluas-luasnya bagi warga negaranya. Pembatasan yang tepat dari
lingkup kebebasan individu akan berbeda antara teori yang satu dengan teori
yang lainnya. Namun, dalam pandangan liberal, kebebasan ini mencakup kebebasan
beragama, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak untuk
memilih pasangan, kebebasan memilih
pekerjaan, dan lain sebagainya.
2)
Universal dan Kesetaraan Prinsip. Kesetaraan yang
terkait dengan tidak melakukan diskriminasi pada kelompok tertentu. Dalam
pandangan paradigma kebebasan, Negara wajib untuk tidak melakukan
diskriminasi terhadap individu
berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, pandangan politik, agama, dan
lain-lain. Liberalisme juga seringkali dikaitkan dengan hak yang sama bagi
setiap warga Negara untuk berpartisipasi secara demokratis dalam kekuasaan
legislatif dan eksekutif.
3)
Individualisme. Paradigma kebebasan memandang individu
memiliki hak dasar sebagai manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam
pandangan paradigma ini, Negara tidak berhak untuk melanggar hak-hak tersebut
dan Negara harus mengakomodasi hak-hak tersebut. Hak seorang individu dibatasi
oleh hak individu lainnya. Kewajiban Negara adalah melindungi setiap hak yang
dimiliki oleh masing-masing individu.
4)
Pluralisme. Manusia diciptakan dengan latar belakang yang
berbeda satu sama lain, seperti suku, agama, ras masing-masing. Keberagaman
adalah sebuah keniscayaan dan manusia tidak dapat mengabaikan hal tersebut.
Perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi alasan untuk melakukan kejahatan
kepada manusia lainnya. Masing-masing akan memiliki keyakinan, pola pikir,
pandangan politik yang berbeda dan itu harus dihormati dan dihargai serta
berusaha hidup dalam damai. Pemaksaan kehendak atau ancaman kekerasan yang
terjadi akibat adanya keberagaman tersebut sedapat mungkin dihindari dan
dilawan.
Berkaca dari hal
tersebut, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan sangatlah penting.
Anggapan kuno yang menganggap masyarakat tidak tahu apa-apa terkait pembangunan
adalah pendapat yang salah besar. Masyarakat merupakan salah satu pelaku
penting pembangunan. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan dalam tiap proses
pembangunan.
Keterlibatan masyarakat dalam proses
pembangunan ini merupakan aplikasi dari Teori Pembebasan Marxis yaitu antara
lain Teori Pengembangan Masyarakat atau Community
Development. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses
yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi
seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
Contoh kasus pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat pada kasus pengelolaan hutan di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Konawe Selatan memiliki potensi hutan jati seluas 38.959 ha yang
tersebar pada empat kecamatan dan 46 desa. Masalah utama pengelolaan hutan pada
tahun 1990-an adalah illegal logging
yang mengancam kelestarian hutan. Sehingga pada tahun 2002 diperkenalkanlah
program Social Forestry (SF) yang
intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Social Forestry merupakan suatu alat
pendekatan dalam mengatasi konflik yang terkait dengan pengelolaan hutan yang
ada di daerah.
Pelibatan masyarakat ini antara lain dalam
hal pembuatan peta partisipatif menggantikan peta kawasan sebelumnya yang
bertujuan untuk mengatasi konflik dalam hal penentuan batas area kelola.
Pemetaan partisipatif ini didukung oleh JICA-Dephut yang kemudian melahirkan
peta kelola kawasan untuk setiap kelompok dan dikompilasi oleh BPDAS Sampara.
Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat
maka terjadi keberlanjutan (sustainability)
yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek sektoral karena adanya ownership
masyarakat. Selain itu pemberdayaan masyarakat mendorong terjadinya
internalisasi pembangunan untuk masyarakat miskin dan marjinal dalam penciptaan
lapangan kerja. Partisipasi penduduk miskin dalam kegiatan pembangunan pun akan
dapat diperoleh sehingga mendorong pembentukan modal sosial serta tata
pengelolaan yang baik (good governance).
C.
MENGAPA
PARADIGMA PENTING?
Melihat beberapa hal
tersebut di atas, pembangunan di Indonesia sejatinya merupakan penerapan multi-paradigma.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang merupakan penjabaran
lebih lanjut dari paradigma modernisasi perlu diterapkan di Indonesia karena
isu lingkungan telah menjadi isu di berbagai negara. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan mutlak dilakukan sebagai bentuk dari pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat bukan hanya sebagai objek, tapi juga pelaku pembangunan yang
perannya sangat dibutuhkan dalam setiap proses pembangunan.
Selain melalui modernisasi dan pemberdayaan, pendekatan
pembangunan itu seyogyanya memposisikan kemandirian sebagai kata kuncinya.
Dalam hal ini, kemandirian dimaksud berupa kompetensi dan otonomi setiap
entitas pembangunan dalam membangun dirinya sendiri. Konsepsi ini dinamakan
konsep kemandirian lokal. Akan tetapi, pembangunan bukanlah upaya sistematis yang berbasis pada perencanaan yang
lengkap dan solid, yang disusun dan dilaksanakan oleh sekelompok orang secara
terpusat (grand scenario), tetapi
lebih menyerupai proses alamiah yang melibatkan semua pihak.
Kemandirian terutama diperlukan untuk menjaga
identitas setiap entitas pembangunan, agar diversitas keseluruhan yang
merupakan syarat untuk mempertahankan kesinambungan keberadaan semesta dapat
dijaga. Konsepsi pembangunan menurut kemandirian lokal merekomendasikan agar
pembangunan dilaksanakan dengan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya lokal
dengan mengacu kepada karakteristik spesifik yang dimiliki. Pembangunan
seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan kualitas tatanan yang indikator
utamanya adalah terjaganya keadilan berpartisipasi bagi semua komponen tatanan
serta meningkatnya kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya.
Pembangunan tidak
hanya sekedar mengoptimalkan sumber daya dalam rangka peningkatan ekonomi dan
derajat kesejahteraan suatu negara. Lingkungan
alam akan sampai pada batas daya dukungnya bila dieksploitasi terus menerus
sehingga pembangunan harus
mempertimbangkan keberlanjutan daya dukung lingkungan melalui penghematan,
pelestarian dan rehabilitasi. Narasi besar tentang efisiensi dan efektivitas
demi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh modernisasi sudah waktunya
didekonstruksi dan diganti dengan narasi kecil tentang kearifan lokal dan
pengetahuan asli yang lebih mengapresiasi keseimbangan tujuan ekonomi dengan
daya dukung lingkungan.
Pembangunan
semestinya merupakan serangkaian upaya sadar manusia untuk berpartisipasi
menciptakan kebaruan tatanan dan lingkungannya dalam kerangka mempertahankan
atau bahkan meningkatkan kualitas keberadaannya dengan memanfaatkan proses perubahan
yang terjadi. Oleh sebab itu yang menjadi penting adalah bahwa hakikat
pembangunan merupakan upaya peningkatan kapasitas dan kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan sehingga
masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses
perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya.
D. KESIMPULAN
1.
Paradigma
pembangunan ala modernisasi yang sempat membawa Indonesia mencapai keberhasilan
ekonomi dapat tetap dilanjutkan dengan menjadikan indikator seperti pendapatan
nasional, pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi sebagai tools atau alat dalam mengukur
keberhasilan pembangunan.
2.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya
alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya
baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang
3.
Pemberdayaan
masyarakat dalam proses pembangunan mutlak untuk dilakukan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pembangunan akan mendorong pada pembentukan
modal sosial serta tata pengelolaan yang baik (good governance).
4.
Paradigma
pembangunan yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia yaitu dengan
menggunakan multi-paradigma. Pada paradigma
modernisasi, indikator keberhasilan
pembangunan berkelanjutan dapat dijadikan sebuah tools. Paradigma pemberdayaan
sangat diperlukan dalam upaya pembentukan modal sosial untuk tercapainya tata
kelola yang baik.
5.
Selain multi-paradigma tersebut, yang menjadi penting
dalam proses pembangunan adalah kontribusi/peran masyarakat harus
dilibatkan dalam proses pembangunan. Sebagaimana diketahui di Indonesia ini
masyarakat kita hidup dalam beragam suku dan agama sehingga perlu untuk menyiapkan kualitas sebagai wujud pembangunan untuk beradaptasi dengan lingkungannya serta menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi
Pembangunan. Jakarta: UPP STIM YKPN.
Jhingan. M.L.,
2015. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.
Jakarta: Raja. Grafindo persada.
Pasaribu, R.B.F. (2012). Teori-Teori Pembangunan. Bahan Ajar Ekonomi Pembangunan. Fakultas
Ekonomi, Universitas Gunadarma.
Tarigan, Robinson.
2014. Ekonomi Regional, Teori dan
Aplikasi, Cetakan Ke Tujuh. PT
Bumi Aksara: Jakarta.
Todaro, Michael P.
2006. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Todaro, Michael P.
& Stephen C. Smith. 2011. Pembangunan
Ekonomi, Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.
No comments:
Post a Comment