Powered By Blogger

Thursday, May 16, 2019

Pilihan Paradigma dalam Pembangunan, Mengapa Penting?



A.    PENDAHULUAN
Paradigma adalah sumber nilai, kerangka berpikir, orientasi dasar, asas, sumber, serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses di dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi, maupun dalam pendidikan. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual. Sedangkan pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
   Berdasarkan pengertian tersebut di atas, paradigma pembangunan dapat didefinisikan sebagai cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan baik pembangunan dalam arti sebagai proses maupun sebagai metode yang bertujuan untuk mencapai peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesejahteraan rakyat. Teori pembangunan pun dalam perkembangannya semakin kompleks yang tidak terikat pada satu disiplin ilmu. Adapun yang menjadi tujuan dari pembangunan antara lain:
a). Peningkatan standar hidup (levels of living); b). Penciptaan berbagai kondisi yang memungkinkan tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) seseorang dan c). Peningkatan kebebasan (freedom/democracy) setiap orang.
Paradigma pembangunan selalu dan harus berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntutan jaman dan permasalahan. Terjadinya krisis yang besar sering dan memaksakan munculnya paradigma baru. Tanpa paradigma baru, krisis yang sama dan lebih besar akan terjadi lagi. Dalam sejarahnya Indonesia telah mengimplementasikan beberapa paradigma pembangunan yang ada di dunia dengan ciri khasnya masing-masing, mulai dari paradigma liberal yang erat kaitannya dengan modernisasi dan paradigma Marxis dengan konsep pemberdayaannya. Paradigma pembangunan yang dijalankan tersebut merupakan proses adaptasi terhadap spirit zaman yang berkembang.
Di era yang serba terbuka ini, di mana masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah maka paradigma pembangunan yang paling sesuai adalah sebuah paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai salah satu pelaku dalam setiap proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi hanya dipandang sebagai “objek”, pandangan kuno bahwa masyarakat tidak mengerti apa-apa terkait dengan pembangunan merupakan pandangan yang sudah usang. Masyarakat memiliki ciri khasnya masing-masing dan kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya (swatata) yang merupakan sebuah potensi besar atau modal dalam proses pelaksanaan pembangunan ke depan.

B.     PILIHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN (Telah Diterapkan Di Indonesia)
1.      Paradigma Modernisasi: Alat Ukur Keberhasilan Pembangunan
Masalah yang mendasar dalam pembangunan adalah adanya ketertinggalan dan keterbelakangan suatu masyarakat. Ketertinggalan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tatanan yang ada dan berkembang selama ini di dalam suatu masyarakat, juga nilai-nilai atau norma yang dianut yang biasanya disebut dengan tradisionalisme. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan dan keterbelakangan itu adalah dengan melakukan modernisasi.
Modernisasi mengandung 3 makna, yang pertama makna yang sangat umum meliputi seluruh perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju. Sedangkan yang kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik, ekonomi, kultural dan mental yang dialami Barat sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya di abad 19 dan 20. Makna yang kedua ini sering disebut dengan “modernitas” yang meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi, birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi untuk berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang ketiga paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau tertinggal dan berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang lebih maju terlebih dahulu.
Salah satu tokoh penganut paham modernisasi adalah Walt Rostow. Peneliti kelahiran Rusia ini telah melakukan penelitian tentang tahapan perkembangan ekonomi negara maju yang disampaikannya dalam sebuah buku The Stage of Economic Development dengan subjudul A Non-Communist Manifesto.
Teori pembangunan ekonomi dari Rostow ini sangat populer dan paling banyak mendapatkan komentar dari para ahli. Teori ini pada mulanya merupakan artikel Rostow yang dimuat dalam Economics Journal (Maret 1956) dan kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960). Menurut pengklasifikasian Todaro, teori Rostow ini dikelompokkan ke dalam model jenjang linear (linear stages mode).
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahapan yaitu
1)        Masyarakat tradisional (the traditional society),
2)        Prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off),
3)        Tinggal landas (the take-off),
4)        Menuju kekedewasaan (the drive to maturity), dan
5)        Masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).
Dasar dalam pembedaan tahap pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap tersebut adalah
1)        Karakteristik perubahan keadaan ekonomi,
2)        Sosial, dan
3)        Politik, yang terjadi.
Menurut Rostow, pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat moderen merupakan suatu proses yang multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja.
Menurut Rostow, disamping perubahan seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain:

1)        Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar.
2)        Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil.
3)        Perubahan kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi tidak produktif (menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang produktif.
4)       Perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang merangsang pembangunan ekonomi. (Pasaribu, 2012).
Penerapan teori Rostow baru dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1970an. Pada saat itu dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun yang dibagi menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Penerapan paradigma modernisasi sempat berhasil diterapkan di Indonesia yaitu dengan keberhasilan swasembada beras sekitar tahun 1984. Selain swasembada beras, perekonomian Indonesia juga sempat meningkat saat itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga Indonesia sempat masuk dalam kategori negara dengan pendapatan tingkat menengah.
Sayangnya keberhasilan perekonomian tidak ditopang dengan “pondasi” yang kokoh. Konsep “trickle down effect” yang dilakukan pemerintah dengan cara memelihara beberapa kelompok konglomerat yang dianggap dapat berkembang pesat yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga memiliki visi untuk dapat “mentransfer” pengetahuan  kepada masyarakat kelompok menengah ke bawah malah menciptakan gejolak sosial. Jurang kesenjangan ekonomi malah semakin besar karena implementasi yang salah dalam memahami konsep “trickle down effect” tersebut.
Untuk mengatasi kelemahan paradigma modernisasi tersebut sebenarnya pemerintahan saat itu kemudian juga menjalankan paradigma kebutuhan dasar yaitu dengan melaksanakan kegiatan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Berbagai fasilitas pun dibangun seperti pendidikan yang saat itu kita kenal dengan SD Inpres, sarana transportasi dan perbaikan pemukiman. Usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap mendasar itu pun juga tidak berhasil. Hal ini disebabkan masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan sebagai pelaku pembangunan. Pemerintah menganggap bahwa kebutuhan masyarakat di setiap daerah adalah sama. Ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan ini akhirnya menjadikan masyarakat tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan.
Selain itu, kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan juga menjadi sorotan. Paradigma ekologi sempat dilaksanakan pemerintah melalui beberapa kebijakan yang dijalankan. Pembangunan pun dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan seperti adanya studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Berdasarkan fenomena kejadian tersebut, paradigma pembangunan berkelanjutan sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu paradigma yang dapat diterapkan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang.
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya cocok untuk diterapkan di Indonesia antara lain :
·         Menjamin pemerataan dan keadilan
Strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan dilandasi oleh pemerataan distribusi lahan dan faktor produksi, lebih meratanya kesempatan perempuan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan
·         Menghargai keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan keanekaragaman hayati memiliki kepastian bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berlanjut untuk masa kini dan masa yang akan datang.

·         Menggunakan pendekatan integratif
Dengan adanya pendekatan yang integratif, maka keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan dapat dimungkinkan untuk masa kini dan masa datang.
·      Menggunakan pandangan jangka panjang
Selain itu pembangunan berkelanjutan pun memiliki beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan. Beberapa indikator tersebut antara lain :


ü Pendapatan nasional
ü Pertumbuhan ekonomi
ü Pendapatan perkapita
ü Distribusi pendapatan nasional
ü Kemiskinan
ü Kesehatan masyarakat
ü Pendidikan masyarakat
ü Produktivitas masyarakat
ü Pertumbuhan penduduk
ü Pengangguran dan setengah pengangguran.


Beberapa indikator di atas dapat dijadikan sebagai sebuah alat untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan di suatu daerah. Meskipun perhitungan tersebut bersifat kuantitatif, setidaknya dapat dijadikan sebagai evaluasi untuk langkah-langkah kebijakan yang harus dilakukan untuk di masa yang akan datang.
2.      Paradigma Pembebasan: Keberlanjutan dalam Pemberdayaan
Pembangunan sejatinya adalah membuat masyarakat menjadi berdaya. Pembangunan merupakan serangkaian upaya sadar untuk membebaskan masyarakat dari segala bentuk ketertindasan (Development as Freedom). Ada dua dimensi utama pemberdayaan masyarakat. Pertama, peningkatan kemampuan (capability building) masyarakat, yang meliputi perluasan aset masyarakat baik individual maupun kolektif, kemudian peningkatan pengetahuan, keterampilan serta perubahan sikap. Kedua, penguatan kelembagaan (institutional strengthening) yang meliputi perubahan nilai dan norma pada kelembagaan masyarakat dan penguatan organisasi pada komunitas miskin atau tidak berdaya itu sendiri.
Tokoh-tokoh penganut paradigma kebebasan adalah John Locke dan Hobbes, kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep “negara alamiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588–1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai.
Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). Sedangkan John Locke (1632–1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti “membeli kucing dalam karung”. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme.
Tokoh paradigma pembebasan selanjutnya adalah Adam Smith. Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Salah satu bukunya yang paling banyak dirujuk adalah Buku berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” atau yang juga sering disebut “The Wealth of Nations” terbitan tahun 1776. Dalam buku ini, dijelaskan secara detail mengenai hukum-hukum sebab akibat yang menjelaskan mengenai cara mencapai kesejahteraan. Dijelaskan pula tentang aktor–aktor ekonomi dan implikasi hukum-hukum ekonomi bagi masyarakat dan negara. Didalamnya, terdapat pula perspektif ekonomi politik yang menjelaskan tentang konsep kekayaan (wealth), pembagian kerja (division of labor), mekanisme pasar (market mechanism), dan juga paham liberalisme (liberalism) itu sendiri.
Buah pikiran para filosofis itu bukan hanya mempengaruhi golongan borjuis, melainkan juga mempengaruhi rakyat jelata yang lebih tertekan dan tertindas. Di Perancis makin lama makin tertimbun perasaan tidak puas. Pada abad ke-18 golongan borjuis merupakan golongan minoritas. Bila mereka sendirian melancarkan aksi kebebasan kemerdekaan, maka tidak mungkin akan berhasil. Oleh sebab itu mereka lalu mengajak golongan rakyat jelata untuk bersama-sama melawan menantang golongan bangsawan dan padri. Sebagai akibatnya pada tahun 1789 meletus Revolusi Perancis. Jadi, Revolusi Perancis itu sebenarnya revolusinya golongan borjuis yang menuntut kebebasan. Mereka itu kemudian disebut Golongan Liberal (Golongan orang-orang yang bebas merdeka).
Dalam paradigma kebebasan terdapat beberapa prinsip dasar yang utama yaitu kebebasan, individualisme, universal dan  kesetaraan, serta pluralisme.
1)        Kebebasan Liberalisme. Didefiniskan sebagai isi prinsip-prinsip moral dalam menggunakan kekuasaan negara yang sah. Melalui definisi ini, Negara dikatakan liberal hanya jika Negara tersebut mewajibkan kebebasan yang seluas-luasnya bagi warga negaranya. Pembatasan yang tepat dari lingkup kebebasan individu akan berbeda antara teori yang satu dengan teori yang lainnya. Namun, dalam pandangan liberal, kebebasan ini mencakup kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak untuk memilih pasangan, kebebasan  memilih pekerjaan, dan lain sebagainya.
2)        Universal dan Kesetaraan Prinsip. Kesetaraan yang terkait dengan tidak melakukan diskriminasi pada kelompok tertentu. Dalam pandangan paradigma kebebasan, Negara wajib untuk tidak melakukan diskriminasi  terhadap individu berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, pandangan politik, agama, dan lain-lain. Liberalisme juga seringkali dikaitkan dengan hak yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi secara demokratis dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.
3)        Individualisme. Paradigma kebebasan memandang individu memiliki hak dasar sebagai manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam pandangan paradigma ini, Negara tidak berhak untuk melanggar hak-hak tersebut dan Negara harus mengakomodasi hak-hak tersebut. Hak seorang individu dibatasi oleh hak individu lainnya. Kewajiban Negara adalah melindungi setiap hak yang dimiliki oleh masing-masing individu.
4)        Pluralisme. Manusia diciptakan dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain, seperti suku, agama, ras masing-masing. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan manusia tidak dapat mengabaikan hal tersebut. Perbedaan yang ada hendaknya tidak menjadi alasan untuk melakukan kejahatan kepada manusia lainnya. Masing-masing akan memiliki keyakinan, pola pikir, pandangan politik yang berbeda dan itu harus dihormati dan dihargai serta berusaha hidup dalam damai. Pemaksaan kehendak atau ancaman kekerasan yang terjadi akibat adanya keberagaman tersebut sedapat mungkin dihindari dan dilawan.
Berkaca dari hal tersebut, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan sangatlah penting. Anggapan kuno yang menganggap masyarakat tidak tahu apa-apa terkait pembangunan adalah pendapat yang salah besar. Masyarakat merupakan salah satu pelaku penting pembangunan. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan dalam tiap proses pembangunan.
   Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan ini merupakan aplikasi dari Teori Pembebasan Marxis yaitu antara lain Teori Pengembangan Masyarakat atau Community Development. Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
   Contoh kasus pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada kasus pengelolaan hutan di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Konawe Selatan memiliki potensi hutan jati seluas 38.959 ha yang tersebar pada empat kecamatan dan 46 desa. Masalah utama pengelolaan hutan pada tahun 1990-an adalah illegal logging yang mengancam kelestarian hutan. Sehingga pada tahun 2002 diperkenalkanlah program Social Forestry (SF) yang intinya adalah melibatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Social Forestry merupakan suatu alat pendekatan dalam mengatasi konflik yang terkait dengan pengelolaan hutan yang ada di daerah.
   Pelibatan masyarakat ini antara lain dalam hal pembuatan peta partisipatif menggantikan peta kawasan sebelumnya yang bertujuan untuk mengatasi konflik dalam hal penentuan batas area kelola. Pemetaan partisipatif ini didukung oleh JICA-Dephut yang kemudian melahirkan peta kelola kawasan untuk setiap kelompok dan dikompilasi oleh BPDAS Sampara.
   Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat maka terjadi keberlanjutan (sustainability) yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek sektoral karena adanya ownership masyarakat. Selain itu pemberdayaan masyarakat mendorong terjadinya internalisasi pembangunan untuk masyarakat miskin dan marjinal dalam penciptaan lapangan kerja. Partisipasi penduduk miskin dalam kegiatan pembangunan pun akan dapat diperoleh sehingga mendorong pembentukan modal sosial serta tata pengelolaan yang baik (good governance).

C.    MENGAPA PARADIGMA PENTING?
Melihat beberapa hal tersebut di atas, pembangunan di Indonesia sejatinya merupakan penerapan multi-paradigma. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari paradigma modernisasi perlu diterapkan di Indonesia karena isu lingkungan telah menjadi isu di berbagai negara. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam pembangunan mutlak dilakukan sebagai bentuk dari pemberdayaan masyarakat. Masyarakat bukan hanya sebagai objek, tapi juga pelaku pembangunan yang perannya sangat dibutuhkan dalam setiap proses pembangunan.
Selain melalui modernisasi dan pemberdayaan, pendekatan pembangunan itu seyogyanya memposisikan kemandirian sebagai kata kuncinya. Dalam hal ini, kemandirian dimaksud berupa kompetensi dan otonomi setiap entitas pembangunan dalam membangun dirinya sendiri. Konsepsi ini dinamakan konsep kemandirian lokal. Akan tetapi, pembangunan bukanlah upaya sistematis yang berbasis pada perencanaan yang lengkap dan solid, yang disusun dan dilaksanakan oleh sekelompok orang secara terpusat (grand scenario), tetapi lebih menyerupai proses alamiah yang melibatkan semua pihak.
Kemandirian terutama diperlukan untuk menjaga identitas setiap entitas pembangunan, agar diversitas keseluruhan yang merupakan syarat untuk mempertahankan kesinambungan keberadaan semesta dapat dijaga. Konsepsi pembangunan menurut kemandirian lokal merekomendasikan agar pembangunan dilaksanakan dengan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya lokal dengan mengacu kepada karakteristik spesifik yang dimiliki. Pembangunan seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan kualitas tatanan yang indikator utamanya adalah terjaganya keadilan berpartisipasi bagi semua komponen tatanan serta meningkatnya kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya.
Pembangunan tidak hanya sekedar mengoptimalkan sumber daya dalam rangka peningkatan ekonomi dan derajat kesejahteraan suatu negara. Lingkungan alam akan sampai pada batas daya dukungnya bila dieksploitasi terus menerus sehingga pembangunan harus mempertimbangkan keberlanjutan daya dukung lingkungan melalui penghematan, pelestarian dan rehabilitasi. Narasi besar tentang efisiensi dan efektivitas demi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh modernisasi sudah waktunya didekonstruksi dan diganti dengan narasi kecil tentang kearifan lokal dan pengetahuan asli yang lebih mengapresiasi keseimbangan tujuan ekonomi dengan daya dukung lingkungan.
Pembangunan semestinya merupakan serangkaian upaya sadar manusia untuk berpartisipasi menciptakan kebaruan tatanan dan lingkungannya dalam kerangka mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas keberadaannya dengan memanfaatkan proses perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu yang menjadi penting adalah bahwa hakikat pembangunan merupakan upaya peningkatan kapasitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sehingga masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya.
D.    KESIMPULAN
1.    Paradigma pembangunan ala modernisasi yang sempat membawa Indonesia mencapai keberhasilan ekonomi dapat tetap dilanjutkan dengan menjadikan indikator seperti pendapatan nasional, pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi sebagai tools atau alat dalam mengukur keberhasilan pembangunan.
2.    Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang
3.    Pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan mutlak untuk dilakukan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan akan mendorong pada pembentukan modal sosial serta tata pengelolaan yang baik (good governance).
4.    Paradigma pembangunan yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia yaitu dengan menggunakan multi-paradigma. Pada paradigma modernisasi, indikator keberhasilan pembangunan berkelanjutan dapat dijadikan sebuah tools. Paradigma pemberdayaan sangat diperlukan dalam upaya pembentukan modal sosial untuk tercapainya tata kelola yang baik.
5.    Selain multi-paradigma tersebut, yang menjadi penting dalam proses pembangunan adalah kontribusi/peran masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Sebagaimana diketahui di Indonesia ini masyarakat kita hidup dalam beragam suku dan agama sehingga perlu untuk menyiapkan kualitas sebagai wujud pembangunan untuk beradaptasi dengan lingkungannya serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: UPP STIM YKPN.
Jhingan. M.L., 2015. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Raja. Grafindo persada.
Pasaribu, R.B.F. (2012). Teori-Teori Pembangunan. Bahan Ajar Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma.
Tarigan, Robinson. 2014. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Cetakan Ke Tujuh. PT Bumi Aksara: Jakarta.
Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Todaro, Michael P. & Stephen C. Smith. 2011. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.

No comments:

Post a Comment