1.
TEORI
VON
THUNEN (SEWA TANAH)
Johann Heinrich von Thunen (1826) menguraikan teori
sewa lahan diferensial dalam bukunya yang berjudul Der Isolelerte Staat, in Bezlehung auf Landwirtschaft und
Nationalokonomie (Berlin : Schumacher-Zarchin, 1975). Inti pembahasan von
thunen adalah mengenai lokasi dan spesialisasi pertanian. Berdasarkan
asumsi-asumsi yang digunakan yaitu:
a.
Wilayah model yang
terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh pasar kota-kota lain,
b.
Wilayah model membentuk
tipe pemukiman perkampungan dimana kebanyakan keluarga petani hidup pada
tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah,
c.
Wilayah model memiliki
iklim, tanah, topografi yang seragam atau uniform (produktivitas tanah secara
sfesifik sama),
d.
Wilayah model memiliki
fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam,
e.
Faktor-faktor alamiah
yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan, maka dapat dianalisis bahwa
sewa lahan merupakan hasil persaingan antara berbagai jenis penggunaan lahan.
Menurut von Thunen, produsen-produsen tersebar di
daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral. Titik
sentral pada umumnya merupakan
kota, dan titik terdapat perbedaan lokasi di
antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli membayar suatu harga tertentu,
tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen berbeda-beda, tergantung
pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini termasuk dalam kategori
satu unit pasar dan banyak unit produksi.
Jika terdapat kenaikan biaya transpor, maka harga
barang akan naik, dan sebaliknya penurunan biaya transpor akan menurunkan harga
pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut
akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih
banyak penjual yang melayani suatu pasar, maka akibatnya permintaan meningkat
pula.
Meskipun model von Thunen dapat dikatakan masih
sangat sederhana, tetapi sumbangan pemikirannya terhadap ilmu pengembangan
wilayah adalah cukup penting sampai sekarang yaitu mengenai penentuan kawasan
(zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha (pertanian).
2.
TEORI
LOKASI OPTIMUN DAN AGLOMERASI INDUSTRI (ALFRED WEBER)
Alfred Weber menekankan
pentingnya biaya transpor sebagai faktor pertimbangan lokasi dan ia telah
mengupasnya secara sistematis. Teori Weber
sebenarnya menentukan dua kekuatan lokasional primer, yaitu orientasi transpor
tenaga kerja. Dalam mengembangkan teorinya, Weber mengintroproduksikan beberapa
konsep pokok, yakni indeks material (material
index), berat lokasional (locational
weight), dan isodapan kritis (critical
isodapanes). Indeks material adalah perbandingan berat bahan baku dan berat hasil akhir.
Berat lokasioanal adalah berat total dari semua barang (meliputi hasil akhir,
bahan baku, bahan bakar, dan sebagainya) yang harus diangkut ke dan dari tempat
produksi untuk setiap satuan keluaran.
Dalam pengertian umum, industri-industri dengan indeks material kurang dari 1
(mengalami penambahan berat atau weight
gaining misalnya pabrik lemonade (minuman), demikian pula barang-barang
yang mengalami penambahan volume (isi) atau bulk
gaining misalnya industri perabot rumah tangga), maka lokasi industrinya
akan tertarik mendekati pasar dan sebaliknya bila indeks material lebih besar
dari 1 (mengalami penyusutan volume atau weight
loosing misalnya industri barang-barang tambang, demikian pula
barang-barang yang mengalami penyusutan volume atau bulk loosing seperti pabrik gula), maka lokasi industrinya
cenderung mendekati sumber bahan baku. Jika unsur berat dan volume tidak
memegang peranan yang berarti (misalnya industri tekstil), maka lokasi
industrinya dapat diletakkan di antara sumber bahan baku dan pasar (footloose industries). Industri-industri
dengan berat lokasional tinggi akan tertarik pada sumber bahan baku, sedangkan
industri-industri dengan berat lokasional rendah cenderung mendekati pasar.
Konsep isodapan
dijelaskan sebagai berikut, jika misalkan suatu tempat (misalnya P1)
transpor minimum, dan sekitar titik tersebut dapat dijangkau dengan tingkat
biaya transport tertentu yang lebih tinggi dari tempat P1, dengan
asumsi bahwa transportasi ke semua jurusan adalah tersedia, maka akan diperoleh
suatu lingkaran (a closed curve)
disebut isodapan. Rangkaian isodapan seperti ini menggambarkan berbagai
tingkat biaya transpor yang lebih tinggi dari pada biaya transpor minimum pada
titik P1.
Terdapat kemungkinan terjadinya deviasi atau
penyimpanan lokasi industri dari titik biaya transpor minimum, misalnya lokasi
industri mendekati lokasi tenaga kerja yang murah, hal ini masih dapat
dipertanggungjawabkan jika penghematan dalam faktor per unit (upah buruh) lebih
besar atau paling sedikit sama dengan tambahan total biaya transport. Jika selisih antara
tambahan total biaya transport sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non
transport yang dapat diperoleh pada suatu tempat alternative, maka tempat
tersebut berada pada isodopan kritis. Jika tempat tersebut terletak dalam
lingkaran kritis, maka
tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien dari pada titik
biaya minimum.
Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan ilmiah
dalam banyak aspek. Pertama, Weber berusaha untuk menetapkan lokasi yang
optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal, meskipun
dalam hal ini pengaruh permintaan tidak di perlihatkan. Kedua, Weber merupakan
pencetus teori lokasi yang dapat digunakan secara umum, digunakan untuk
pemilihan lokasi industri, meskpiun pendekatnnya masih secara deskriptif dan
kasar, tetapi ia telah menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam
arti munculnya strata yng sukses seperti pembangunan industri (pusat-pusat
kegiatan ekonomi), terjadinya urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari strata pertanian.
Beberapa kelemahan analisis Weber
dapat dikemukakan secara umum (W.Alonso dalam L. Needieman (ed), 1968, 63-68).
Pertama, keuntungan-keuntungan aglomerasi yang diketengahkan itu tidaklah
merupakan suatu daftar yang lengkap dan menyeluruh, karena tidak mencakup
modal, asuransi dan pajak. Kedua, analisis Weber tidak mudah
dioperasionalisasikan karena fungsi aglomerasi adalah merupakan suatu konstruk
teoretik yang sukar dikuantifikasikan, seperti halnya keuntungan-keuntungan
eksternal adalah sukar diukur. Ketiga, menurut pendapatnya, penghematan biaya
aglomerasi yang terbesar adalah dalam industri-industri yang nilai tambahnya
tinggi.
Keuntungan lokalisasi yaitu
terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri yang
sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu akan menimbulkan
keuntungan-keuntungan yang dinikmati oleh semua perusahaan tersebut.
Keuntungan urbanisasi (urbanization economy)
diasosiasikan dengan pertambahan dalam jumlah total (penduduk, tenaga kerja
terampil, hasil industri, pendapatan dan kemakmuran).Keuntungan-keuntungan ini
memperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara
agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota, public utilities,
dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga kerja termapil yang
spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan, dan berbagai jasa
pelayanan lainnya yang tidak terdapat dikota-kota yang relatif kecil. Secara
eksternal kekuatan-kekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebgai kekuatan
konsentrasi, oleh karena itu dapat kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya
jangan dikaitkan hanya pada salah satu faktor saja melainkan pada beberapa
faktor yang relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh
urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya
terbatas pada sektor ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa
perorangan, pendidikan, dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya.
Kegiatan-kegiatan ini cenderung proporsional terhadap besarnya pusat-pusat
perkotaan.
Analisis aglomerasi diatas menjelaskan pengelompokan
kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokasi tertentu, tetapi tidak menekankan
pada kecendrungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat
dari pengelompokan tersebut. Proses pengelompokan kegiatan-kegiatan selama
suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi
itu dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi.
3.
TEORI
TEMPAT SENTRAL (WALTER
CHRISTALLER)
Model Christaller dinyatakan sebagai suatu sistem
gometrik yang dikenal dengan nama Sistem K = 3” dimana K ditetapkan secara
arbiter sebagai huruf indeks yang digunakan untuk notasi pola pemukiman.
Christaller menggunakan asumsi-asumsi sebagai
berikut:
a.
Wilayah model merupakan
dataran tanpa roman, tidak memiliki raut tanda khusus baik alamiah maupun
buatan manusia,
b.
Perpindahan dapat
dilakukan kesegala jurusan, suatu situasi yang dilukiskan sebagai permukaan
isotropik,
c.
Penduduk serta daya
belinya tersebar merata diseluruh wilayah,
d.
Konsumen bertindak
rasional sesuai dengan prinsip
minimisasi jarak.
Teori tempat sentral menjelaskan
pola geografis dan struktur hirarkis pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah
nodal, akan tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi
secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada
masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Teori ini
bersifat statis. Agar supaya teori tempat sentral dapat menjelaskan
gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah
dinamis yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori
kutub pertumbuhan (growth pole theory)
yang diintoduksikan oleh parroux, yang membahas pertumbuhan-pertumbuhan
struktural pada tata ruang geografis.
Teori tempat sentral untuk sebagian
bersifat positif karena berusaha menjelaskan pola actual arus pelayanan jasa,
dan untuk sebagian lagi bersifat normative karena berusaha menetukan pola
optimal distribusi tempat-tempat sentral. Keduanya mempunyai kontribusi pada
pemahaman intrerelasi spasial dan mengenai kota-kota sebagai sistem di dalam
sistem perkotaan.
Dalam hubungan
dengan pertumbuhan kota, teori tempat sentral menyatakan bahwa fungsi-fungsi
pokok pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi wilayah komplementernya
(wilayah belakangnya), yaitu mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral
seperti jasa-jasa perdagangan, perbankan, profesional, pendidikan, hiburan dan
kebudayaan, dan jasa-jasa pemerintah kota.
Beberapa sumbangan positif teori tempat sentral dalam
konsep pengembangan wilayah dapat dikemukakan, yaitu tori tersebut adalah
relevan bagi perencanaan kota dan wilayah, karena sistem hirarki merupakan
sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Tempat sentral besar seringkali
merupakan titik pertumbuhan inti di wilayahnya dan menentukan tingkat
perkembangan ekonomi keseluruh wilayah nodal dan kemudian melahirkan
konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Teori tempat sentral mengemukakan model
yang mudah diengerti untuk menjelaskan pertumbuhan hirarki kota dan
ketergantungan antara pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah-wilayah sekitarnya.
4.
TEORI
KERUCUT PERMINTAAN (AUGUST
LOSCH)
August
Losch telah mengetengahkan suatu model keseimbangan regional spasial. Ia
termasuk yang pertama menguraikan prinsip-prinsip dasar analisis spasial dan
menginterpretasikan ekonomi spasial dalam pasar persaingan monopolistic. Teori
Losch merupakan perluasan dari teori tempat sentral yang diformulasikan oleh
Crishtaller.
Dalam
mengembangkan modelnya Losch menggunakan beberapa asumsi, yaitu sebagai
berikut:
1.
Tidak terdapat variasi
dalam biaya dan tidak ada perbedaan spasial dalam sumber daya, termasuk tenaga
kerja dan modal di seluruh wilayah (wilayah di anggap homogin). Berdasarkan
anggapan ini, maka lokasi perusahaan dapat ditempatkan dimana saja,
2.
Penduduk tersebar
merata, kepadatan dianggap uniform, cita rasa konstan, dan perbedaan pendapatan
diabaikan. Berdasarkan asumsi ini dapat dijelaskan bahwa permintaan mempunyai
korelasi negative terhadap jarak secara langsung, hal ini berarti semakin jauh
jaraknya dari lokasi parbik, maka jumlah permintaan menjadi semakin berkurang.
3.
Wilayah pasar dan
permintaan terhadap barang-barang hasil suatu perusahaan tidak di pengaruhi
oleh lokasi perusahaan-perusahaan saingannya. Anggapan ini diinterpretasikan
bahwa untuk suatu industri baru atau sebuah perusahaan yang ditempatkan di
daerah non industri tidak menimbulkan kesulitan, akan tetapi hal ini tidak
relevan bagi perusahaan yang menempatkan lokasinya di daerah indutri yang sudah
sangat maju, dimana lokasi dan kegiatan perusahaan yang sudah ada sangat
berpengaruh.
Menurut Losch terdapat tiga jenis
wilayah ekonomi, yaitu wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar dan
sitem wilayah pasar. Wilayah pasar individual tersebut nampaknya sangat
sederhana dan sangat tergantung pada perdagangan, sedangkan system wilayah pasar
sangat kompelks, walapun merupakan bentuk ideal yang menekankan pada
swasembada, akan tetapi sulit dijumpai dalam kenyataan. Kenyataan menunjukkan
bahwa banyak komoditas diproduksikan dan di perdagangkan mencapai diluar
lingkup system, maka terjadilah wilayah-wilayah yang saling tumpah tindih.
Wilayah ekonomi lebih mencerminkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung seperti
apa adanya dari pada sekedar pembagian alamiah wilayah-wilayah suatu negara.
Antara wilayah
sederhana dan sistem regional lengkap terdapat jaringan trayek transpor
menghubungkan kota-kota dalam pengertian pusat sentral. Walaupun jaringan dan
daerah-daerah produksi dan konsumsi sudah nyata, akan tetapi perlu dibedakan
dengan sistem wilayah. Sistem wilayah merupakan kesatuan dari banyak wilayah,
merupakan suatu organisme dari pada sebagai suatu organ.
Walaupun teori
Losch dalam beberapa segi tidak memuaskan, akan tetapi Losch telah merintis
analisis tata ruang, oleh karena itu tidak dapat disangkal bahwa tidak ada
ahli-ahli teori lokasi dan ahli-ahli Ekonomi Regional melalaikan hasil
pekerjaan Losch.
Sumbangan teori
Losch dalam pengembangan wilayah dapat disebutkan yaitu wilayah-wilayah yang
membentuk sistem jaringan wilayah pasar diasosiasikan sebagai wilayah ekonomi,
pusat-pusat wilayah pasar yang mempunyai kedudukan sebagai unit-unit produksi
dapat diinterpretasikan sebagai pusat-pusat urban dan perumusan tentang hirarki
dan hubungan fungsional antar pusat-pusat urban.
5.
TEORI
KUTUB PERTUMBUHAN (FRANCOIS
PERROUX)
Menurut Perroux, pertumbuhan
ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada
beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diindetifikasikannnya sebagai
arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat.
Setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan keluar dan kekuatan
tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan
khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan industri-industri serta saling
ketergantungannya, dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri
baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan
mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Perroux menekankan pada dinamisme
industri-industri dan aglomerasi industri-industri dibagian-bagian tata ruang
geografis. Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan sebagai alat untuk
mengamati gejala-gejala pembangunan, proses kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul
dan berkembangnya industri-industri pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan
aglomerasi. Secara esensial teori kutub pertumbuhan dikategorisasikan sebagai
teori dinamis. Proses pertumbuhan digambarkan sebagian keadaan yang tidak
seimbang karena adanya kesuksesan atau keberhasilan kutub-kutub dinamis. Inti
pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada
perusahaan-perusahaan atau industri-industri berskala besar dan terdapatnya
ketergantungan antar perusahaan atau industri.
Tiga
ciri penting dari konsep pertumbuhan dapat dikemukakan, yaitu:
a. Terdapat
keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi,
b.
Terdapat pengaruh
multiplier,
c. Terdapat
konsentrasi geografis.
Di
sekitar kutub geografis, pertumbuhan industri-industri yang menonjol dan
kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan dengan industri-industri tersebut
lebih pesat dari pada di lokasi-lokasi lainnya, dan selanjutnya dari kutub tersebut
manfaatnya akan menyebar ke seluruh pelosok wilayah.
6.
TEORI
KUTUB PEMBANGUNAN YANG TERLOKALISASIKAN (BOUDEVILLE)
Teori Boudeville
berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub
pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis, sedangkan teori
lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub pembagunan fungsional
berada atau dimana kutub-kutub dilokalisasikan pada waktu yang akan dating.
Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang
oleh teori-teori lokasi. Di antara teori lokasi, teori tempat sentral di anggap
sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara
kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja sacara
spatial.
Teori Boudeville
merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan
geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai peristiwa-peristiwa geografis
dan transmisi pembangunan di antara pengelompokan-pengelompokan yang
bersangkutan.
Dalam aplikasi
teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional,
nampaknya pendapat Boudeville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux
menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan
karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut
Boudeville, tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang
geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut, Boudeville menekankan
pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian
ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat didalamnya. Konsep ini erat
berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
Implikasi penting dari
hubungan antara teori Boudeville dan teori tempat sentral dalam konteks
perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara dan
dapat dikemukakan dua persoalan yang relevan yaitu: (1) bagaimana merintis proses pembangunan di
wilayah-wilayah yang terbelakang secara terus menerus, dan (2) bagaimana
mengarahkan proses urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi
pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya.
Persoalan pertama
merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan dari
instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit diwilayah terbelakang
tersebut ketempat tertentu disekitarnya.
Persoalan kedua pada
dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian
perusahaan-perusaan industri
dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan bagian-bagian dari kurub-kutub
pembangunan.
7.
DAMPAK
TETESAN KEBAWAH DAN
POLARISASI (HIRSCHMAN)
Albert
O. Hirschman (1958) adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth). Secara geografis,
pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak
seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan di suatu tempat (titik)
menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kea
rah perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik)
berikutnya. Hirschman menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda tingkat
intesitasnya pada tempat-tempat originalnya sebelum disebarkan ke berbagai
tempat lainnya. Ia menggunakan istilah titik pertumbuhan (growing point) atua pusat pertumbuhan (growing center) dan bukan kutub pertumbuhan (growth pole) seperti yang dipakai oleh Perroux dan ahli-ahli
Perancis lainnya.
Di
suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri-industri berkelompok
di tempat-tempat itu karena diperolehnya berbagai manfaat dalam bentuk
penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan-kesempatan
investasi, lapangan kerja, dan upah buruh yang relative tinggi, lebih banyak
terdapat di pusat-pusat pertumbuhan dari pada di daerah-daerah belakang. Antara
pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan
tenaga kerja. Pengaruh polarisasi yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke
kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang
terampil dan dilain pihak akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah
belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat
tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke
daerah-daerah belakang (trickling down
effect), dan sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi dampak
polarisasi (polarization effect).
Jika polarisasi lebih kuat dari dampak penyebaran pembangunan maka akan timbul
masyarakat dualistik yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern
juga memiliki ciri-ciri daerah pedesaan terbelakang. Walaupun terlihat suatu
kecendrungan yang suram, namun Hircsman optimis dan percaya bahwa pada akhirnya
pengaruh tricking down akan mengatasi
pengaruh polarisasi. Misalnya, jika daerah perkotaan harus mendorong
perkembangan daerah pedesaan, tetapi apa yang terjadi mungkin tidak selancar
seperti itu. Pada khususnya ada kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran
jangka pendek di daerah pedesaan adalah sedemikian rendahnya sehingga dasar
pertukaran ankan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang
penghematan-penghematan eksternal dan tersedianya komplementaris di pusat-pusat
akan menjamin penyebaran pembangunan ke daerah-daerah di sekitarnya.
8.
DAMPAK
PENYEBARAN DAN PENGURASAN (MYRDAL)
Myrdal menggunakan istilah backwash effect dan spread effect yang artinya persis serupa dengan dampak polarisasi
dan dampak trickling-down. Namun
demikian, dalam hal penekanan pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan tedapat
perbedaan yang cukup besar.
Analisis
Myrdal memberikan kesan yang persimistis, ia berpendapat bahwa polarisasi akan
muncul lebih kuat dari penyebaran pembangunan, perpindahan faktor-faktor
produksi akan menumpuk di daerah-daerah perkotaan yang memberikan
manfaat-manfaat kepadanya, dan sebaliknya di daerah-daerah pedesaan yang tidak
menguntungkan akan menipis. Pesimisme tersebut dapat dimaklumi karena Myrdal
tidak memaklumi bahwa timbulnya titik-titik pertumbuhan adalah suatu hal yang
tidak terelakkan dan merupakan syarat bagi perkembangan selanjutnya di
mana-mana. Selain dari pada itu pusat pemikiran Myrdal pada mekanisme kausasi
kumulatif menyebabkan ia tidak dapat melihat dengan jelas timbulnya
kekuatan-kekuatan yang menimbulkan suatu titik balik apabila perkembangan
kearah polarisasi di suatu wilayah sudah berlangsung untuk beberapa waktu.
Kausasi sirkuler kumulatif selalu menghasilkan penyebaran pembangunan yang
lemah dan ketidakmerataan, atau dapat dikatakan bahwa migrasi akan memperbesar
ketimpangan regional.
Berdasarkan
pada perbedaan pandangan di atas, maka kebijaksanaan perspektif yang di
anjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman menyarankan agar
membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan
pengaruh-pengaruh penyebaran pembangunan yang efektif, sedangkan Myrdal
menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk melemahkan backwash effects dan memperkuat speread effects agar proses kausasi
sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil
ketimpangan regional.
9.
TEORI
MASUKAN TRANSPOR (WALTER
ISARD)
Model
Isard lebih fleksibel karena analisisnya dianggap dapat mengakomodasikan
struktur biaya transport secara lebih realistik. Konsep dasar yang digunakan
dalam analisis Isard adalah masuka transport (transport input). Masukan transport diartikan sebagai perpindahan
suatu berat unit atas
jarak unit. Berat unit dilukiskan sebagai garis transformasi (transformation
line). Jarak unit lukiskan sebagai garis
perbandingan harga (Price ratio line) atau
perbandingan transport relative (relative transpor ratio).
Jadi masukan
transport dapat dinyatakan dalam ton-mil. Masukan transport berkaitan dengan
besarya usaha (man-hours) untuk
melakukan perpindahan melalui tata ruang.
Dalam kenyataan terdapat perbedaan biaya transport karena perbedaan panjang dan
karakteristik jarak yang ditempuh, tipe atau jenis komoditas yang diangkut,
tingkat persaingan dalam sektor transpor, topografi wilayah di atas mana muatan
tersebut diangkut dan sebagainya.
Sumbangan
pemikiran Isard lainnya adalah ia telah mengintroduksikan analisi kompleks
industri (industrial
complex). Suatu kompleks industri didefinisikan
sebagai suatu perangkat kegiatan-kegiatan pada suatu lokasi spesifik yang
mempunyai saling keterhubungan secara teknis dan produksi. industri-industri
dapat bekerja sama secara optimal bila berkelompok bersama-sama secara tata
ruang dari pada mereka melayani sendiri perdagangan yang meliputi daerah yang
luas.
Meskipun suatu kompleks industri tidak mempunyai suatu industri pendorong
seperti dinyatakan dalam teori kutub pertumbuhan, akan tetapi kompleks industri
memberikan perhatian sama pentingnya pada keuntungan-keuntungan aglomerasi atau
konsentrasi tersebut akan menimbulkan keuntungan-keuntungan, yaitu penghematan
skala, penghematan lokalisasi, dan penghematan aglomerasi.
10.
MODEL
DAN TEORI HOOVER
E.M.
Hoover (1948) menekankan pula pentingnya peranan biaya transport dalam
pemilihan lokasi indutri. Hoover membedakan biaya transport yaitu biaya
transport bahan baku yang selanjutnya disebut procurement cost dan biaya transport produk akhir yang disebut
sebagai distribution cost. Jumlah procurement cost ditambah distribution cost sama dengan total transfer cost. Disamping itu
Hoover mengintroduksikan modelnya tentang korelasi tingkat biaya transport dan
jarak yang ditempuh menurut bebarapa moda (sarana) transport truk, kereta api
dan kapal laut (lihat gambar 10.1).
|
|
|
Gambar 10.1
Tingkat Biaya Transport Menurut Beberapa Moda Transport
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat
biaya transport untuk sarana truk (angkutan jalan raya) menunjukkan bahwa untuk
jarak pendek, tingkat biaya traspornya adalah terendah tetapi untuk jaraj jauh
adalah tertinggi dibandingkan dengan kedua jenis sarana transport lainnya yaitu
kapal laut dan kereta api. Sedangkan tingkat biaya transport untuk jarak dekat
tetapi rendah untuk jarak jauh dibandingkan sarana transport truk dan kereta
api.
Selanjutnya mengenai pemilihan
lokasi industri,
Hoover membedakan antara transportasi bahan baku dan produk akhir yang yang
dilakukan oleh (i) satu jenis sarana angkutan dan (ii) yang dilakukan oleh
lebih dari satu jenis sarana angkutan. Jika bahan baku dan produk akhir di
angkut oleh satu jenis sarana angkutan (misalnya truk) maka lokasi industri
optimum yang menguntungkan berada di sumber bahan baku atau mendekati pasar.
Jika bahan baku dan produk akhir diangkut oleh lebih
dari satu jenis sarana angkutan (misaklnya truk dan kapal laut), maka maka
lokasi industri optimum yang menguntungkan terletak pada lokasi di antara
sumber bahan baku dan pasar yaitu pada titik pindah muat atau transshipment
point. Lokasi pada sumber
bahan baku dan lokasi pasar ternyata kurang menguntungkan. Pada umumnya titik
pindah muat itu merupakan pusat-pusat jasa distribusi yang berbentuk kota-kota
besar yang merupakan pusat perdagangan dimana terdapat fasilitas angkutan jalan
raya yang menghubungkan ke/dari daerah belakangnya (hinterland) dan memiliki
pula fasilitas transportasi laut yang menghubungkan ke pelabuhan-pelabuhan yang
terletak di lain
daerah.
Pemilihan lokasi yang menguntungkan di titik pindah muat
ataupun mendekati pasar (konsumen) akan mendorong berkelompoknya industri dan
berbagai kegiatan usaha di daerah-daerah perkotaan atau pusat-pusat jasa
distribusi atau simpul-simpul jasa distribusi (menurut istilah Poernomosidi
Hadjisarosa yang mengintroduksikan teori simpul jasa distribusi) akan menikmati
berbagai kemudahan yang diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada
suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang berbagai kegiatan
industri untuk datang ke tempat tersebut, atau terjadi kecenderungan aglomerasi
(istilah Weber).
11.
TEORI
DAERAH/WILAYAH INTI (JOHN
FRIEDMANN)
John Friedmann (1964) menganilisis aspek-aspek tata
ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijaksanaan dan perencanaan
pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general, Friedmann menampilkan teori daerah inti yang berjudul “A General Theory of Polarized Development”,
dalam N.M. Hasen (ed), 1972, h. 83-101.
Daerah
Inti
Daerah
Pinggiran
Gambar 10.1 Daerah
Inti dan Daerah Pinggiran
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam
pembangunan spasia, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu
sebagai berikut:
a. Daerah
inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah disekitarnya
melalui system suplai, pasar dan daerah administrasi,
b. Daerah
inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah-daerah di
sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya,
c. Sampai
pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh
positif dalm proses pembangunan system spasial.
d. Dalam
suatu system spasial, hararki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada
kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristik-karakteristiknya
secara terperinci dan prestasinya,
e. Kemungkinan
inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah system spasial dengan cara
mengembangkan pertukaran informasi.
12.
TEORI
SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN
PENDEKATAN ARUS BARANG (POERNOMOSIDI
HADJISAROSA)
Teori
simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atas faktor penentu
lokasi “kemudahan”. Dalam pengertian ini kemudahan menempati kedudukan yang
sentral karena:
a. Merupakan
sumber dorongan bagi pengembangan kegiatan usaha yang bersifat multi sektoral.
b. Disamping
memberikan arti pada pendapatan dianggap pula sebagai sumver ransangang bagi
tumbuhnya dinamika masyarakat yang memungkinkan terwujudnya daya pengembangan
wilayah yang universal sifatnya.
Poernomosidi
menjelaskan konsepsinya sebagai berikut : berkembangnya wilayah ditandai oleh
terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlansungnya berbagai
kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, yang pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan.
Simpul
jasa distribusi dinyatakan sebagai titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya
kota, menurut pertimbangan ekonomis atau dengan kata lain, kota mempunyai
fungsi ekonomi dalam perannya sebagai simpul jasa distribusi. Sebagai pusat
perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada simpul (kota) merupakan ukuran
harga pasar dari barang-barang yang dhasilkan oleh kegiatan usaha prosuksi yang
berada di sekitarnya. Sebaliknya dapat dikatakan, bahwa kegiatan usaha prosuksi
berusaha untuk dapat mencapai tingkat harga pasar yang berlaku pada simpul
(kota).
Dalam
usahanya untuk mencapai tingkat harga pasar yang berlaku pada simpul (kota)
kegiatan usaha produksi memperhitungkan besarnya biaya angkutan yang perlu
ditutupnya. Untuk suatu jenis barang berlaku harga produksi minimum, sehingga
untuk suatu tingkat harga pada pasar pada simpul (kota) berlaku pula suatu
batas wilayah, yang menggambarkan apa yang disebut wilayah pengaruh simpul
(kota).
13.
TEORI
SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN
PENDEKATAN ORIENTASI PEDAGANG (RAHARDJO
ADISASMITA)
Salah satu fenomena
ekonomi wilayah adalah masalah “simpul” yang rumit, tetapi mencerminkan keadaan
yang sebenarnya. Banyak ahli ekonomi regional menghindarkan diri untuk
mengupasnya (H.W. Richardson, 1972, 223), tetapi justru Poernomosidi dan
Rahardjo Adisasmita tertarik dan berminat mengkajinya.
Dalam pembahasan
sebelumnya dikemukakan bahwa Poernomosidi Hadjisarosa telah memformulasikan
teori “simpul jasa distribusi” menggunakan pendekatan arus barang. Arus barang
merupakan salah satu gejala ekonoi yang paling menonjol, arus barang didukung
oleh jasa distribusi yaitu perdagangan dan jasa angkutan. Tingkat kepadatan
arus barang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat interaksi antara simpul
(jasa distribusi) besar dengan simpul-simpul kecil dan daerah-daerah lainnya
yang berada dalam wilayah pengaruhnya, hal ini meripakan unsur yang penting
dalam konsepsi Poernomosidi. Meskipun teori simpul jasa distribusi memiliki
beberapa kelebihan di bandingkan dengan teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah
sebelumnya, namun masih terdapat peluang untuk melengkapi dan memperkuat teori
simpul jasa distribusi yaitu dari pendekatan yang digunakan.
Pembahasan teori simpul dengan
menggunakan arus barang sebagai variable ternyata belum sampai menjangkau pengenalan
gejala karakteristik simpul sampai dengan tingkat efisiensi masing-masing
simpul. Jika ditinjau dari proses distribusi, maka arus barang hanyalah
berstatus sebagai produk. Segala pertimbangan, baik yang menyangkut jenis, asal
dan tujuan maupun jumlah dan harga barang, terjadi pada proses distribusinya. Bahkan, dalam rangka
proses distribusi itu sendiri,
angkutan barang telah dapat dikategorikan pada tingkat pelaksanaan suatu
keputusan. Pengambilan keputusan, dengan segala peetimbangannya, telah berlansung
pada kegiatan perdagangan. Oleh karena
itu, dalam rangka upaya melengkapi serta memperkuat teori “simpul jasa
distribusi” pengkajian Rahardjo Adisasmita dilakukan melalui jalur perdagangan
yakni dengan mendekati para pedagang guna memperoleh data primer terutama yang
berkaitan dengan “orientasi” pedagang. Hingga terjadinya arus barang, segala
pertimbangan berada di tangan kaum pedagang.
Setelah
dapat mengenai gejala karakterisitk terbentuknya simpul-simpul berikut struktur
hirarkis yang berlaku, Rahardjo Adisasmita berusaha lebih lanjut untuk
mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi kota lainnya, sehingga dapat diperleh
gambaran tentang fungsi kota seutuhnya.
Variable
yang dipilih adalah yang dapat digunakan untuk menyatakan : (1) besaran simpul, dan (2) kaitan fungsional
antar simpul serta besarnya pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain.
Besaran simpul yang dimaksudkan haruslah yang identic dengan ukuran tingkat
“kemudahan” bagi masyarakat, khususnya dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan
berupa barang. Dalam hal in, sebagai ukuran tingkat “kemudahan” dapat digunakan
“kepadatan” jasa distribusi, disamping “efisiensi-nya”. Dan kaitan fungsional
yang dimaksudkan adalah dalam hal distribusi dan merupakan bagian dari
kelengkapan fungsi simpul, sebagai akibat dari penerapan azas efisiensi dalam
pelaksanaan system distribusi, sedangkan yang dimaksudkan dengan besarnya
pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain pada hakekatnya adalah besarnya
kontribusi suatu simpul dalam rangka penambahan ataupun pengurangan kepadatan
jasa distribusi sewaktu menuju simpul yang lain.
No comments:
Post a Comment