Powered By Blogger

Monday, September 21, 2015

Teori Pembangunan Wilayah



1.        TEORI VON THUNEN (SEWA TANAH)
Johann Heinrich von Thunen (1826) menguraikan teori sewa lahan diferensial dalam bukunya yang berjudul Der Isolelerte Staat, in Bezlehung auf Landwirtschaft und Nationalokonomie (Berlin : Schumacher-Zarchin, 1975). Inti pembahasan von thunen adalah mengenai lokasi dan spesialisasi pertanian. Berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan yaitu:
a.         Wilayah model yang terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh pasar kota-kota lain,
b.        Wilayah model membentuk tipe pemukiman perkampungan dimana kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah,
c.         Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam atau uniform (produktivitas tanah secara sfesifik sama),
d.        Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam,
e.         Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan, maka dapat dianalisis bahwa sewa lahan merupakan hasil persaingan antara berbagai jenis penggunaan lahan.
Menurut von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral. Titik sentral pada umumnya merupakan
kota, dan titik terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen berbeda-beda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
Jika terdapat kenaikan biaya transpor, maka harga barang akan naik, dan sebaliknya penurunan biaya transpor akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar, maka akibatnya permintaan meningkat pula.
Meskipun model von Thunen dapat dikatakan masih sangat sederhana, tetapi sumbangan pemikirannya terhadap ilmu pengembangan wilayah adalah cukup penting sampai sekarang yaitu mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha (pertanian).


2.        TEORI LOKASI OPTIMUN DAN AGLOMERASI INDUSTRI (ALFRED WEBER)

Alfred Weber menekankan pentingnya biaya transpor sebagai faktor pertimbangan lokasi dan ia telah mengupasnya secara sistematis. Teori Weber sebenarnya menentukan dua kekuatan lokasional primer, yaitu orientasi transpor tenaga kerja. Dalam mengembangkan teorinya, Weber mengintroproduksikan beberapa konsep pokok, yakni indeks material (material index), berat lokasional (locational weight), dan isodapan kritis (critical isodapanes). Indeks material adalah perbandingan berat bahan baku dan berat hasil akhir. Berat lokasioanal adalah berat total dari semua barang (meliputi hasil akhir, bahan baku, bahan bakar, dan sebagainya) yang harus diangkut ke dan dari tempat produksi untuk setiap satuan keluaran. Dalam pengertian umum, industri-industri dengan indeks material kurang dari 1 (mengalami penambahan berat atau weight gaining misalnya pabrik lemonade (minuman), demikian pula barang-barang yang mengalami penambahan volume (isi) atau bulk gaining misalnya industri perabot rumah tangga), maka lokasi industrinya akan tertarik mendekati pasar dan sebaliknya bila indeks material lebih besar dari 1 (mengalami penyusutan volume atau weight loosing misalnya industri barang-barang tambang, demikian pula barang-barang yang mengalami penyusutan volume atau bulk loosing seperti pabrik gula), maka lokasi industrinya cenderung mendekati sumber bahan baku. Jika unsur berat dan volume tidak memegang peranan yang berarti (misalnya industri tekstil), maka lokasi industrinya dapat diletakkan di antara sumber bahan baku dan pasar (footloose industries). Industri-industri dengan berat lokasional tinggi akan tertarik pada sumber bahan baku, sedangkan industri-industri dengan berat lokasional rendah cenderung mendekati pasar.
Konsep isodapan dijelaskan sebagai berikut, jika misalkan suatu tempat (misalnya P1) transpor minimum, dan sekitar titik tersebut dapat dijangkau dengan tingkat biaya transport tertentu yang lebih tinggi dari tempat P1, dengan asumsi bahwa transportasi ke semua jurusan adalah tersedia, maka akan diperoleh suatu lingkaran (a closed curve) disebut isodapan. Rangkaian isodapan seperti ini menggambarkan berbagai tingkat biaya transpor yang lebih tinggi dari pada biaya transpor minimum pada titik P1.
Terdapat kemungkinan terjadinya deviasi atau penyimpanan lokasi industri dari titik biaya transpor minimum, misalnya lokasi industri mendekati lokasi tenaga kerja yang murah, hal ini masih dapat dipertanggungjawabkan jika penghematan dalam faktor per unit (upah buruh) lebih besar atau paling sedikit sama dengan tambahan total biaya transport. Jika selisih antara tambahan total biaya transport sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat diperoleh pada suatu tempat alternative, maka tempat tersebut berada pada isodopan kritis. Jika tempat tersebut terletak dalam lingkaran kritis, maka tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien dari pada titik biaya minimum.
Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek. Pertama, Weber berusaha untuk menetapkan lokasi yang optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal, meskipun dalam hal ini pengaruh permintaan tidak di perlihatkan. Kedua, Weber merupakan pencetus teori lokasi yang dapat digunakan secara umum, digunakan untuk pemilihan lokasi industri, meskpiun pendekatnnya masih secara deskriptif dan kasar, tetapi ia telah menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam arti munculnya strata yng sukses seperti pembangunan industri (pusat-pusat kegiatan ekonomi), terjadinya urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari strata pertanian.
Beberapa kelemahan analisis Weber dapat dikemukakan secara umum (W.Alonso dalam L. Needieman (ed), 1968, 63-68). Pertama, keuntungan-keuntungan aglomerasi yang diketengahkan itu tidaklah merupakan suatu daftar yang lengkap dan menyeluruh, karena tidak mencakup modal, asuransi dan pajak. Kedua, analisis Weber tidak mudah dioperasionalisasikan karena fungsi aglomerasi adalah merupakan suatu konstruk teoretik yang sukar dikuantifikasikan, seperti halnya keuntungan-keuntungan eksternal adalah sukar diukur. Ketiga, menurut pendapatnya, penghematan biaya aglomerasi yang terbesar adalah dalam industri-industri yang nilai tambahnya tinggi.
Keuntungan lokalisasi yaitu terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri yang sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu akan menimbulkan keuntungan-keuntungan yang dinikmati oleh semua perusahaan tersebut.
Keuntungan urbanisasi (urbanization economy) diasosiasikan dengan pertambahan dalam jumlah total (penduduk, tenaga kerja terampil, hasil industri, pendapatan dan kemakmuran).Keuntungan-keuntungan ini memperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota, public utilities, dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga kerja termapil yang spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan, dan berbagai jasa pelayanan lainnya yang tidak terdapat dikota-kota yang relatif kecil. Secara eksternal kekuatan-kekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebgai kekuatan konsentrasi, oleh karena itu dapat kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya jangan dikaitkan hanya pada salah satu faktor saja melainkan pada beberapa faktor yang relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa perorangan, pendidikan, dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini cenderung proporsional terhadap besarnya pusat-pusat perkotaan.
Analisis aglomerasi diatas menjelaskan pengelompokan kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokasi tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecendrungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokan tersebut. Proses pengelompokan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi itu dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi.


3.        TEORI TEMPAT SENTRAL (WALTER CHRISTALLER)

Model Christaller dinyatakan sebagai suatu sistem gometrik yang dikenal dengan nama Sistem K = 3” dimana K ditetapkan secara arbiter sebagai huruf indeks yang digunakan untuk notasi pola pemukiman.
Christaller menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a.         Wilayah model merupakan dataran tanpa roman, tidak memiliki raut tanda khusus baik alamiah maupun buatan manusia,
b.        Perpindahan dapat dilakukan kesegala jurusan, suatu situasi yang dilukiskan sebagai permukaan isotropik,
c.         Penduduk serta daya belinya tersebar merata diseluruh wilayah,
d.        Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak.

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hirarkis pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah nodal, akan tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis. Agar supaya teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah dinamis yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diintoduksikan oleh parroux, yang membahas pertumbuhan-pertumbuhan struktural pada tata ruang geografis.
Teori tempat sentral untuk sebagian bersifat positif karena berusaha menjelaskan pola actual arus pelayanan jasa, dan untuk sebagian lagi bersifat normative karena berusaha menetukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Keduanya mempunyai kontribusi pada pemahaman intrerelasi spasial dan mengenai kota-kota sebagai sistem di dalam sistem perkotaan.
Dalam hubungan dengan pertumbuhan kota, teori tempat sentral menyatakan bahwa fungsi-fungsi pokok pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi wilayah komplementernya (wilayah belakangnya), yaitu mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa perdagangan, perbankan, profesional, pendidikan, hiburan dan kebudayaan, dan jasa-jasa pemerintah kota.
Beberapa sumbangan positif teori tempat sentral dalam konsep pengembangan wilayah dapat dikemukakan, yaitu tori tersebut adalah relevan bagi perencanaan kota dan wilayah, karena sistem hirarki merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Tempat sentral besar seringkali merupakan titik pertumbuhan inti di wilayahnya dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi keseluruh wilayah nodal dan kemudian melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Teori tempat sentral mengemukakan model yang mudah diengerti untuk menjelaskan pertumbuhan hirarki kota dan ketergantungan antara pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah-wilayah sekitarnya.



4.        TEORI KERUCUT PERMINTAAN (AUGUST LOSCH)

August Losch telah mengetengahkan suatu model keseimbangan regional spasial. Ia termasuk yang pertama menguraikan prinsip-prinsip dasar analisis spasial dan menginterpretasikan ekonomi spasial dalam pasar persaingan monopolistic. Teori Losch merupakan perluasan dari teori tempat sentral yang diformulasikan oleh Crishtaller.

Dalam mengembangkan modelnya Losch menggunakan beberapa asumsi, yaitu sebagai berikut:
1.        Tidak terdapat variasi dalam biaya dan tidak ada perbedaan spasial dalam sumber daya, termasuk tenaga kerja dan modal di seluruh wilayah (wilayah di anggap homogin). Berdasarkan anggapan ini, maka lokasi perusahaan dapat ditempatkan dimana saja,
2.        Penduduk tersebar merata, kepadatan dianggap uniform, cita rasa konstan, dan perbedaan pendapatan diabaikan. Berdasarkan asumsi ini dapat dijelaskan bahwa permintaan mempunyai korelasi negative terhadap jarak secara langsung, hal ini berarti semakin jauh jaraknya dari lokasi parbik, maka jumlah permintaan menjadi semakin berkurang.
3.        Wilayah pasar dan permintaan terhadap barang-barang hasil suatu perusahaan tidak di pengaruhi oleh lokasi perusahaan-perusahaan saingannya. Anggapan ini diinterpretasikan bahwa untuk suatu industri baru atau sebuah perusahaan yang ditempatkan di daerah non industri tidak menimbulkan kesulitan, akan tetapi hal ini tidak relevan bagi perusahaan yang menempatkan lokasinya di daerah indutri yang sudah sangat maju, dimana lokasi dan kegiatan perusahaan yang sudah ada sangat berpengaruh.
Menurut Losch terdapat tiga jenis wilayah ekonomi, yaitu wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar dan sitem wilayah pasar. Wilayah pasar individual tersebut nampaknya sangat sederhana dan sangat tergantung pada perdagangan, sedangkan system wilayah pasar sangat kompelks, walapun merupakan bentuk ideal yang menekankan pada swasembada, akan tetapi sulit dijumpai dalam kenyataan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak komoditas diproduksikan dan di perdagangkan mencapai diluar lingkup system, maka terjadilah wilayah-wilayah yang saling tumpah tindih. Wilayah ekonomi lebih mencerminkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung seperti apa adanya dari pada sekedar pembagian alamiah wilayah-wilayah suatu negara.
Antara wilayah sederhana dan sistem regional lengkap terdapat jaringan trayek transpor menghubungkan kota-kota dalam pengertian pusat sentral. Walaupun jaringan dan daerah-daerah produksi dan konsumsi sudah nyata, akan tetapi perlu dibedakan dengan sistem wilayah. Sistem wilayah merupakan kesatuan dari banyak wilayah, merupakan suatu organisme dari pada sebagai suatu organ.
Walaupun teori Losch dalam beberapa segi tidak memuaskan, akan tetapi Losch telah merintis analisis tata ruang, oleh karena itu tidak dapat disangkal bahwa tidak ada ahli-ahli teori lokasi dan ahli-ahli Ekonomi Regional melalaikan hasil pekerjaan Losch.
Sumbangan teori Losch dalam pengembangan wilayah dapat disebutkan yaitu wilayah-wilayah yang membentuk sistem jaringan wilayah pasar diasosiasikan sebagai wilayah ekonomi, pusat-pusat wilayah pasar yang mempunyai kedudukan sebagai unit-unit produksi dapat diinterpretasikan sebagai pusat-pusat urban dan perumusan tentang hirarki dan hubungan fungsional antar pusat-pusat urban.


5.        TEORI KUTUB PERTUMBUHAN (FRANCOIS PERROUX)

Menurut Perroux, pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diindetifikasikannnya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan keluar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Perroux menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi industri-industri dibagian-bagian tata ruang geografis. Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala pembangunan, proses kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya industri-industri pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Secara esensial teori kutub pertumbuhan dikategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertumbuhan digambarkan sebagian keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau keberhasilan kutub-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan atau industri.
Tiga ciri penting dari konsep pertumbuhan dapat dikemukakan, yaitu:
a.       Terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi,
b.      Terdapat pengaruh multiplier,
c.       Terdapat konsentrasi geografis.
Di sekitar kutub geografis, pertumbuhan industri-industri yang menonjol dan kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan dengan industri-industri tersebut lebih pesat dari pada di lokasi-lokasi lainnya, dan selanjutnya dari kutub tersebut manfaatnya akan menyebar ke seluruh pelosok wilayah.

                                   
6.        TEORI KUTUB PEMBANGUNAN YANG TERLOKALISASIKAN (BOUDEVILLE)

Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis, sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub pembagunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub dilokalisasikan pada waktu yang akan dating. Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori lokasi, teori tempat sentral di anggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja sacara spatial.
Teori Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
Dalam aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, nampaknya pendapat Boudeville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville, tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut, Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat didalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
Implikasi penting dari hubungan antara teori Boudeville dan teori tempat sentral dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara dan dapat dikemukakan dua persoalan yang relevan yaitu: (1) bagaimana merintis proses pembangunan di wilayah-wilayah yang terbelakang secara terus menerus, dan (2) bagaimana mengarahkan proses urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya.
Persoalan pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit diwilayah terbelakang tersebut ketempat tertentu disekitarnya.
Persoalan kedua pada dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian perusahaan-perusaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan bagian-bagian dari kurub-kutub pembangunan.

7.        DAMPAK TETESAN KEBAWAH DAN POLARISASI (HIRSCHMAN)

Albert O. Hirschman (1958) adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth). Secara geografis, pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan di suatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kea rah perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirschman menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda tingkat intesitasnya pada tempat-tempat originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia menggunakan istilah titik pertumbuhan (growing point) atua pusat pertumbuhan (growing center) dan bukan kutub pertumbuhan (growth pole) seperti yang dipakai oleh Perroux dan ahli-ahli Perancis lainnya.
Di suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri-industri berkelompok di tempat-tempat itu karena diperolehnya berbagai manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan-kesempatan investasi, lapangan kerja, dan upah buruh yang relative tinggi, lebih banyak terdapat di pusat-pusat pertumbuhan dari pada di daerah-daerah belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh polarisasi yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang terampil dan dilain pihak akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickling down effect), dan sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi dampak polarisasi (polarization effect). Jika polarisasi lebih kuat dari dampak penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga memiliki ciri-ciri daerah pedesaan terbelakang. Walaupun terlihat suatu kecendrungan yang suram, namun Hircsman optimis dan percaya bahwa pada akhirnya pengaruh tricking down akan mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya, jika daerah perkotaan harus mendorong perkembangan daerah pedesaan, tetapi apa yang terjadi mungkin tidak selancar seperti itu. Pada khususnya ada kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran jangka pendek di daerah pedesaan adalah sedemikian rendahnya sehingga dasar pertukaran ankan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang penghematan-penghematan eksternal dan tersedianya komplementaris di pusat-pusat akan menjamin penyebaran pembangunan ke daerah-daerah di sekitarnya.


8.        DAMPAK PENYEBARAN DAN PENGURASAN (MYRDAL)

Myrdal menggunakan istilah backwash effect dan spread effect yang artinya persis serupa dengan dampak polarisasi dan dampak trickling-down. Namun demikian, dalam hal penekanan pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan tedapat perbedaan yang cukup besar.
Analisis Myrdal memberikan kesan yang persimistis, ia berpendapat bahwa polarisasi akan muncul lebih kuat dari penyebaran pembangunan, perpindahan faktor-faktor produksi akan menumpuk di daerah-daerah perkotaan yang memberikan manfaat-manfaat kepadanya, dan sebaliknya di daerah-daerah pedesaan yang tidak menguntungkan akan menipis. Pesimisme tersebut dapat dimaklumi karena Myrdal tidak memaklumi bahwa timbulnya titik-titik pertumbuhan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dan merupakan syarat bagi perkembangan selanjutnya di mana-mana. Selain dari pada itu pusat pemikiran Myrdal pada mekanisme kausasi kumulatif menyebabkan ia tidak dapat melihat dengan jelas timbulnya kekuatan-kekuatan yang menimbulkan suatu titik balik apabila perkembangan kearah polarisasi di suatu wilayah sudah berlangsung untuk beberapa waktu. Kausasi sirkuler kumulatif selalu menghasilkan penyebaran pembangunan yang lemah dan ketidakmerataan, atau dapat dikatakan bahwa migrasi akan memperbesar ketimpangan regional.
Berdasarkan pada perbedaan pandangan di atas, maka kebijaksanaan perspektif yang di anjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembangunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk melemahkan backwash effects dan memperkuat speread effects agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil ketimpangan regional.


9.        TEORI MASUKAN TRANSPOR (WALTER ISARD)

Model Isard lebih fleksibel karena analisisnya dianggap dapat mengakomodasikan struktur biaya transport secara lebih realistik. Konsep dasar yang digunakan dalam analisis Isard adalah masuka transport (transport input). Masukan transport diartikan sebagai perpindahan suatu berat unit atas jarak unit. Berat unit dilukiskan sebagai garis transformasi (transformation line). Jarak unit lukiskan sebagai garis perbandingan harga (Price ratio line) atau perbandingan transport relative (relative transpor ratio). Jadi masukan transport dapat dinyatakan dalam ton-mil. Masukan transport berkaitan dengan besarya usaha (man-hours) untuk melakukan perpindahan melalui tata ruang. Dalam kenyataan terdapat perbedaan biaya transport karena perbedaan panjang dan karakteristik jarak yang ditempuh, tipe atau jenis komoditas yang diangkut, tingkat persaingan dalam sektor transpor, topografi wilayah di atas mana muatan tersebut diangkut dan sebagainya.
Sumbangan pemikiran Isard lainnya adalah ia telah mengintroduksikan analisi kompleks industri (industrial complex). Suatu kompleks industri didefinisikan sebagai suatu perangkat kegiatan-kegiatan pada suatu lokasi spesifik yang mempunyai saling keterhubungan secara teknis dan produksi. industri-industri dapat bekerja sama secara optimal bila berkelompok bersama-sama secara tata ruang dari pada mereka melayani sendiri perdagangan yang meliputi daerah yang luas.
Meskipun suatu kompleks industri tidak mempunyai suatu industri pendorong seperti dinyatakan dalam teori kutub pertumbuhan, akan tetapi kompleks industri memberikan perhatian sama pentingnya pada keuntungan-keuntungan aglomerasi atau konsentrasi tersebut akan menimbulkan keuntungan-keuntungan, yaitu penghematan skala, penghematan lokalisasi, dan penghematan aglomerasi.

10.    MODEL DAN TEORI HOOVER

E.M. Hoover (1948) menekankan pula pentingnya peranan biaya transport dalam pemilihan lokasi indutri. Hoover membedakan biaya transport yaitu biaya transport bahan baku yang selanjutnya disebut procurement cost dan biaya transport produk akhir yang disebut sebagai distribution cost. Jumlah procurement cost ditambah distribution cost sama dengan total transfer cost. Disamping itu Hoover mengintroduksikan modelnya tentang korelasi tingkat biaya transport dan jarak yang ditempuh menurut bebarapa moda (sarana) transport truk, kereta api dan kapal laut (lihat gambar 10.1).
Kereta Api
 








Truk
 
Kapal Laut
 







Gambar 10.1 Tingkat Biaya Transport Menurut Beberapa Moda Transport

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat biaya transport untuk sarana truk (angkutan jalan raya) menunjukkan bahwa untuk jarak pendek, tingkat biaya traspornya adalah terendah tetapi untuk jaraj jauh adalah tertinggi dibandingkan dengan kedua jenis sarana transport lainnya yaitu kapal laut dan kereta api. Sedangkan tingkat biaya transport untuk jarak dekat tetapi rendah untuk jarak jauh dibandingkan sarana transport truk dan kereta api.
Selanjutnya mengenai pemilihan lokasi industri, Hoover membedakan antara transportasi bahan baku dan produk akhir yang yang dilakukan oleh (i) satu jenis sarana angkutan dan (ii) yang dilakukan oleh lebih dari satu jenis sarana angkutan. Jika bahan baku dan produk akhir di angkut oleh satu jenis sarana angkutan (misalnya truk) maka lokasi industri optimum yang menguntungkan berada di sumber bahan baku atau mendekati pasar.
Jika bahan baku dan produk akhir diangkut oleh lebih dari satu jenis sarana angkutan (misaklnya truk dan kapal laut), maka maka lokasi industri optimum yang menguntungkan terletak pada lokasi di antara sumber bahan baku dan pasar yaitu pada titik pindah muat atau transshipment point. Lokasi pada sumber bahan baku dan lokasi pasar ternyata kurang menguntungkan. Pada umumnya titik pindah muat itu merupakan pusat-pusat jasa distribusi yang berbentuk kota-kota besar yang merupakan pusat perdagangan dimana terdapat fasilitas angkutan jalan raya yang menghubungkan ke/dari daerah belakangnya (hinterland) dan memiliki pula fasilitas transportasi laut yang menghubungkan ke pelabuhan-pelabuhan yang terletak di lain daerah.
Pemilihan lokasi yang menguntungkan di titik pindah muat ataupun mendekati pasar (konsumen) akan mendorong berkelompoknya industri dan berbagai kegiatan usaha di daerah-daerah perkotaan atau pusat-pusat jasa distribusi atau simpul-simpul jasa distribusi (menurut istilah Poernomosidi Hadjisarosa yang mengintroduksikan teori simpul jasa distribusi) akan menikmati berbagai kemudahan yang diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang berbagai kegiatan industri untuk datang ke tempat tersebut, atau terjadi kecenderungan aglomerasi (istilah Weber).



11.    TEORI DAERAH/WILAYAH INTI (JOHN FRIEDMANN)
John Friedmann (1964) menganilisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general, Friedmann menampilkan teori daerah inti yang berjudul “A General Theory of Polarized Development”, dalam N.M. Hasen (ed), 1972, h. 83-101.
/////////////////
Di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pula daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah di sekitarnya, dilihat di gambar 10.1.
                                                                                               Daerah Inti


 
                                                                                Daerah Pinggiran

Gambar 10.1 Daerah Inti dan Daerah Pinggiran
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasia, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut:
a.       Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah disekitarnya melalui system suplai, pasar dan daerah administrasi,
b.      Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya,
c.       Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh positif dalm proses pembangunan system spasial.
d.      Dalam suatu system spasial, hararki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristik-karakteristiknya secara terperinci dan prestasinya,
e.       Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah system spasial dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.

12.    TEORI SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN PENDEKATAN ARUS BARANG (POERNOMOSIDI HADJISAROSA)

Teori simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atas faktor penentu lokasi “kemudahan”. Dalam pengertian ini kemudahan menempati kedudukan yang sentral karena:
a.       Merupakan sumber dorongan bagi pengembangan kegiatan usaha yang bersifat multi sektoral.
b.      Disamping memberikan arti pada pendapatan dianggap pula sebagai sumver ransangang bagi tumbuhnya dinamika masyarakat yang memungkinkan terwujudnya daya pengembangan wilayah yang universal sifatnya.

Poernomosidi menjelaskan konsepsinya sebagai berikut : berkembangnya wilayah ditandai oleh terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlansungnya berbagai kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan.
Simpul jasa distribusi dinyatakan sebagai titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya kota, menurut pertimbangan ekonomis atau dengan kata lain, kota mempunyai fungsi ekonomi dalam perannya sebagai simpul jasa distribusi. Sebagai pusat perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada simpul (kota) merupakan ukuran harga pasar dari barang-barang yang dhasilkan oleh kegiatan usaha prosuksi yang berada di sekitarnya. Sebaliknya dapat dikatakan, bahwa kegiatan usaha prosuksi berusaha untuk dapat mencapai tingkat harga pasar yang berlaku pada simpul (kota).
Dalam usahanya untuk mencapai tingkat harga pasar yang berlaku pada simpul (kota) kegiatan usaha produksi memperhitungkan besarnya biaya angkutan yang perlu ditutupnya. Untuk suatu jenis barang berlaku harga produksi minimum, sehingga untuk suatu tingkat harga pada pasar pada simpul (kota) berlaku pula suatu batas wilayah, yang menggambarkan apa yang disebut wilayah pengaruh simpul (kota).

13.    TEORI SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN PENDEKATAN ORIENTASI PEDAGANG (RAHARDJO ADISASMITA)

Salah satu fenomena ekonomi wilayah adalah masalah “simpul” yang rumit, tetapi mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Banyak ahli ekonomi regional menghindarkan diri untuk mengupasnya (H.W. Richardson, 1972, 223), tetapi justru Poernomosidi dan Rahardjo Adisasmita tertarik dan berminat mengkajinya.
Dalam pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa Poernomosidi Hadjisarosa telah memformulasikan teori “simpul jasa distribusi” menggunakan pendekatan arus barang. Arus barang merupakan salah satu gejala ekonoi yang paling menonjol, arus barang didukung oleh jasa distribusi yaitu perdagangan dan jasa angkutan. Tingkat kepadatan arus barang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat interaksi antara simpul (jasa distribusi) besar dengan simpul-simpul kecil dan daerah-daerah lainnya yang berada dalam wilayah pengaruhnya, hal ini meripakan unsur yang penting dalam konsepsi Poernomosidi. Meskipun teori simpul jasa distribusi memiliki beberapa kelebihan di bandingkan dengan teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah sebelumnya, namun masih terdapat peluang untuk melengkapi dan memperkuat teori simpul jasa distribusi yaitu dari pendekatan yang digunakan.
Pembahasan teori simpul dengan menggunakan arus barang sebagai variable ternyata belum sampai menjangkau pengenalan gejala karakteristik simpul sampai dengan tingkat efisiensi masing-masing simpul. Jika ditinjau dari proses distribusi, maka arus barang hanyalah berstatus sebagai produk. Segala pertimbangan, baik yang menyangkut jenis, asal dan tujuan maupun jumlah dan harga barang, terjadi pada proses distribusinya. Bahkan, dalam rangka proses distribusi itu sendiri, angkutan barang telah dapat dikategorikan pada tingkat pelaksanaan suatu keputusan. Pengambilan keputusan, dengan segala peetimbangannya, telah berlansung pada kegiatan perdagangan. Oleh karena itu, dalam rangka upaya melengkapi serta memperkuat teori “simpul jasa distribusi” pengkajian Rahardjo Adisasmita dilakukan melalui jalur perdagangan yakni dengan mendekati para pedagang guna memperoleh data primer terutama yang berkaitan dengan “orientasi” pedagang. Hingga terjadinya arus barang, segala pertimbangan berada di tangan kaum pedagang.
Setelah dapat mengenai gejala karakterisitk terbentuknya simpul-simpul berikut struktur hirarkis yang berlaku, Rahardjo Adisasmita berusaha lebih lanjut untuk mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi kota lainnya, sehingga dapat diperleh gambaran tentang fungsi kota seutuhnya.
Variable yang dipilih adalah yang dapat digunakan untuk menyatakan : (1)  besaran simpul, dan (2) kaitan fungsional antar simpul serta besarnya pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain. Besaran simpul yang dimaksudkan haruslah yang identic dengan ukuran tingkat “kemudahan” bagi masyarakat, khususnya dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan berupa barang. Dalam hal in, sebagai ukuran tingkat “kemudahan” dapat digunakan “kepadatan” jasa distribusi, disamping “efisiensi-nya”. Dan kaitan fungsional yang dimaksudkan adalah dalam hal distribusi dan merupakan bagian dari kelengkapan fungsi simpul, sebagai akibat dari penerapan azas efisiensi dalam pelaksanaan system distribusi, sedangkan yang dimaksudkan dengan besarnya pengaruh simpul yang satu terhadap yang lain pada hakekatnya adalah besarnya kontribusi suatu simpul dalam rangka penambahan ataupun pengurangan kepadatan jasa distribusi sewaktu menuju simpul yang lain.


No comments:

Post a Comment