A.
Paradigma Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan
dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa
realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum
alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu
aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik, semua
didasarkan pada data empiris. Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke-19
dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari
enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Dalam perkembangannya ada tiga
positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner, dan positivisme
kritis.
1. Positivisme sosial
Positivisme
sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah.
August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh utama positivisme ini.
Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik
dan utilitarian yang karya-karyanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi, yaitu
Thomas Maltrus dan David Ricardo.
Filsafat
positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam
pikir manusia, matematika bukan ilmu namun merupakan alat berpikir logik. Comte
terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu
teologik, metafisik, dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang
bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya,
jenjang ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap animisme atau
fetishisme, yang memandang
bahwa pada setiap
benda itu memiliki
kemauannya sendiri. Kedua tahap
polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada sejumlah
obyek dan ketiga, tahap monotheisme yang memandang bahwa ada satu Tuhan yang
menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam berfikir
metaphisik abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab
dan kekuatan alam semesta. Pada jenjang positif, alam berfikir mengadakan
pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab utama, ilmu
yang pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu fisika, kimia dan akhirnya
biologi.
Tokoh semasa
dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy Bentham dan
James Mill, menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada
fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada
motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama.
Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress
(benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi
marak pada akhir abad 20-an ini.
2. Positivisme Evolusioner
Hal ini
berangkat dari fisika dan biologi dan digunakan doktrin evolusi biologik. Dalam
konsep Herbert Spencer, evolusi merupakan proses dari sederhana
ke kompleks, pengetahuan
manusia menurut dia
terbatas pada kawasan phenomena. Agama
yang otentik mengungkap
kawasan yang penuh
misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana
yang phenomena tunduk kepada misteri.
Agama sering
melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualisme, Hackel berpendapat bahwa hal
dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansi
yang satu, monistik. Berbeda dengan
Lambrosso yang berpendapat
bahwa perilaku criminal
bersifat positivistic
biologic deterministic. Wilhelm
Wundt penganut positivism
evolusioner menampilkan teori paralelisme psikhophisik, menentang monism
materialistic Lombrosso.
3. Positivisme Kritis
Pada akhir
abad XIX positivisme menampilkan bentuk lebih kritis dalam karya-karya Ernst
Mach dan Richard Avenarius dan lebih dikenal sebagai empiriocritisisme. Fakta
menjadi satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas. Tekanan positivistik
menggaris bawahi
penegasannya bahwa hanya
bahasa observasional yang menyatakan informasi
faktual.
B. Paradigma
Naturalisme
Naturalisme lahir pada abad ke 17
dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat
di bidang sains. Ia berpandangan bahwa “Learned heavily on the knowledge
reported by man’s sense”. Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau, seorang
filsuf Perancis yang hidup pada tahun 1712-1778. Rosseau berpendapat bahwa
semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik akan
menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang
dewasa, justru dapat merusak pembawaan baik anak itu, sehingga aliran ini
sering disebut negativisme.
Naturalisme mempunyai pengertian,
yaitu : dari segi bahasa, Naturalisme berasal dari 2 kata, yakni Natural
: alami dan Isme : paham. Aliran filsafat naturalisme disebut
sebagai Paham Alami maksudnya adalah bahwa setiap manusia yang terlahir
ke bumi ini pada dasarnya memiliki kecenderungan atau pembawaan yang baik, dan
tak ada seorangpun terlahir dengan pembawaan yang buruk. Secara garis besar
dapat diartikan bahwa filsafat naturalisme merupakan hasil berlakunya
hukum alam fisik dan terjadinya menurut kodrat atau menurut wataknya sendiri.
Ada beberapa tokoh yang menganut
aliran filsafat naturalisme. Adapun tokoh-tokoh tersebut serta pandangannya
antara lain:
1.
Plato.
(427 – 347 SM)
Menurut Plato, terdapat dua dunia
yaitu dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani yang
merupakan obyek pengertian, yang terpisah sama sekali yang satu dengan yang
lainnya. Salah satu analisis dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala
(fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa, disamping
dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan
yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian
(theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia fenomena bahwa memang
terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala yang terdapat dibumi ini. Tetapi
asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak
berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous),
yang menciptakan eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran.
Sehingga dunia eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.
2.
Aristoteles
(384 – 322 SM)
Aristoteles menyatakan bahwa
mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
a. Prinsip formal, yakni bentuk atau
hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan
tujuannya.
b. Prinsip material, yakni materi
adalah apa yang merupakan dasar semua mahluk.
Sesudah mengetahui sesuatu hal
menurut kedua prinsip internal itu pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi
dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan
tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang
membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya. Prinsip
ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang
menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar
merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prinsip ekstern
kedua ini diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena dipengaruhi
oleh tujuan tertentu, pandangan ini diterapkan pada semua mahluk alam. Seperti
semua mahluk manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.
Materi adalah badan, karena badan material
itu manusia harus mati, yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa
manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti
jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang)
akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia
mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka
Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi
yang aktif. Bagian akal budi yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian
akal budi yang yang aktif berhubungan dengan rohani.
C. Paradigma
Modernisasi
Paradigma tentang medernisasi terus berkembang sesuai dengan
perubahan waktu dan kondisi. Eropa pada awalnya menganut konsep renaissance, masyarakat
eropa yang berlapis-lapis baik suku, kerajaan dan lainnya lebih kompleks
dibandingkan dengan amerika yang menganut konsep pencerahan. Edward Shils dalam
Pieters menilai bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dimana modern
adalah menjadi kebarat-baratan, hal ini memberikan standar dan model yang jelas
untuk membentuk Negara yang modern. Modernisasi mengadopsi politik
lembanga-lembaga barat, bagaimana lembaga itu bekerja di Negara yang belum
modern tergantung pada lembaga tersebut dan bagaimana westernisasi bekerja di
Negara tersebut. Hal yang tidak jauh
berbeda diungkapkan dalam pieters dimana menjelaskan bahwa teori modernisasi
merupakan evolusi dari perkawinan evolusionisme dan fungsionalisme, dengan
modernisasi dikonseptualisasikan baik sebagai variabel kritis atau teori
dikotomis. Contoh dari teori modernisasi adalah rasionalisasi dan
industrialisasi. Bagaimana memandang rasionalitas sebagai suatu kemajuan dalam
pembangunan serta bagaimana pembangunan industri menjadi sumber ekonomi utama
bangsa-bangsa Eropa.
Teori modernisasi berkembang dalam tiga fase. Fase pertama
(1950-an dan 1960-an), fase kedua (1970-an dan 1980-an), fase ketiga (1990-an).
Teori modernisasi lahir sebagai sejarah tiga peristiwa penting dunia setelah
Perang Dunia II, yaitu munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan
dunia, perluasan gerakan komunis sedunia dimana Uni Soviet mampu memperluas
pengaruh politiknya ke Eropa Timur dan Asia serta lahirnya negara-negara
merdeka baru di Asia (Afrika dan Amerika Latin). Terdapat dua teori yang
melatarbelakangi lahirnya teori modernisasi, yaitu teori evolusi dan teori
fungsionalisme.
Teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat dalam
dua hal. Pertama, teori evolusi menganggap bahwa perubahan sosial merupakan
gerakan searah, seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari masyarakat primitif
menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan
subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju
bentuk masyarakat modern merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Teori fungsionalisme tidak lepas dari pemikiran Talcott
Parsons yang memandang masyarakat seperi organ tubuh manusia. Pertama, struktur
tubuh manusia memiliki bagian yang saling terhubung satu sama lain. Oleh karena
itu, masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait satu sama
lain. Kedua, setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas,
demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat.
Terdapat tiga pemikir klasik teori modernisasi untuk
menggambarkan bagaimana seorang sosiolog, ekonom dan ahli politik menguji
persoalan pembangunan di Negara Dunia Ketiga.
Menurut Neil
Smelser, modernisasi akan selalu melibatkan konsep diferensiasi struktural. Dengan
adanya proses modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang
menjalankan berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk
menjalankan satu fungsi yang lebih khusus.
Walt Whitman
Rostow menyatakan bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu masyarakat
tradisional, persiapan tinggal landas, tinggal landas, menuju kematangan dan
konsumsi massa. Namun, masalah yang dihadapi Negara Dunia Ketiga adalah
bagaimana memperoleh sumber daya yang diperlukan, khususnya sumber daya modal
untuk mencapai tingkat investasi produktif yang tinggi. Menurut Rostow, masalah
dana investasi dapat diselesikan dengan beberapa cara, yaitu pemindahan sumber
dana secara radikal atau melalui berbagai kebijakan pajak, investasi yang
berasal dari lembaga-lembaga keuangan, perdagangan internasional dan investasi
langsung modal asing.
Menurut James S.
Coleman, modernisasi politik merujuk pada proses diferensiasi struktur politik
dan sekularisasi budaya politik yang mengarah pada etos keadilan. Terdapat tiga
hal pokok yang dinyatakan oleh Coleman, yaitu diferensiasi politik dapat
dikatakan sebagai salah satu kecenderungan sejarah perkembangan sistem politik
modern, prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern serta
usaha pembangunan politik yang berkeadilan akan membawa akibat pada perkembangan
kapasitas sistem politik.
No comments:
Post a Comment