1.
Karl Heinrich Marx
Teori Marx bertumpu pada pemikiran bahwa sejarah dari masyarakat yang ada sampai
sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Dengan kata lain, teori kelas
berpraanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas
sosial. Misalnya saja keterasingan
manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnnya.
Teori
yang dikemukakan oleh Karl Marx ini bukanlah teori yang eksplisit,
melainkan sebuah latar belakang uraian Marx tentang hukum perkembangan sejarah,
kapitalisme dan sosialisme. Dalam teori ini, Marx membedakan
masyarakat berdasarkan mode produksi (teknologi dan pembagian kerja). Dari
masing-masing mode produksi tersebut lahir sistem kelas yang
berbeda dimana suatu kelas mengontrol sistem produksi (kelas pemilik modal) dan
kelas yang lain merupakan produsen langsung serta penyedia layanan untuk kelas
dominan (kelas buruh). Faktor ekonomi inilah yang akhirnya mengatur hubungan
sosial pada masyarakat kapitalisme.
Karl
Marx mengemukakan teorinya berdasar atas sejarah perkembangan masyarakat dimana
perkembangan masyarakat itu melalui 5 tahap yaitu masyarakat komunal,
masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat
sosialis. Dalam perkembangan
perekonomian di masyarakat, Karl Marx membagi menjadi tiga tahapan yaitu feodalisme,
kapitalisme, dan sosialisme.
Marx berpendapat bahwa kemampuan para pengusaha untuk mengakumulasi modal
terletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan nilai lebih produktivitas
buruh yang dipekerjakan. Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari
kaum
terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme
miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan
memberikan jalan untuk komunisme. Di sisi lain, Marx menulis bahwa kapitalisme
akan berakhir karena aksi yang terorganisir dari kelas kerja internasional.
2.
Maximilian Weber
Weber menjelaskan temuannya terhadap dampak pemikiran agama
puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi
di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain
diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan
dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi
terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber
semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan
dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek
pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori
tentang rasionalisasi. Secara spesifik, berkembangnya birokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat
dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu
sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang
rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik
dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat
merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial.
Weber melihat birokrasi sebagai
contoh klasik dari rasionalisasi, dan memasukkan diskusinya mengenai proses
birokratisasi ke dalam diskusi yang lebih luas tentang lembaga politik. Weber
membedakan tiga jenis sistem
otoritas yaitu tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Sistem otoritas rasional-legal hanya dapat berkembang
dalam masyarakat Barat Modern dan hanya dalam sistem itulah birokrasi tersebut dapat berkembang
penuh. Masyarakat di belahan dunia lain masih didominasi sistem otoritas tradisional ataupun
karismatik yang merupakan rintangan perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi
modern.
Weber juga membuat analisis rinci
tentang mengapa sistem
ekonomi rasional yang berkembang di dunia barat, gagal berkembang di belahan
dunia lain. Dalam hal ini, Weber mengakui peran sentral agama, dimana dia di
satu sisi terlibat dialog dengan Marxis untuk menunjukan bahwa agama bukanlah
sebuah epifenomena semata, melainkan agama telah memainkan peran kunci dalam
pertumbuhan kapitalisme di Barat, tetapi gagal di masyarakat belahan dunia yang
lain. Weber menegaskan, sistem agama rasionallah (Calvinisme) yang
berperan sentral dalam pertumbuhan kapitalisme di Barat. Tapi dibelahan dunia
lain, Weber mengkaji dan menemukan sistem agama yang irrasional yang merintangi
perkembangan sistem ekonomi rasional, walaupun pada akhirnya rintangan tersebut
hanya untuk sementara karena sistem ekonomi bahkan seluruh struktur sosial
masyarakat akan
menjadi rasional.
3.
Georg Willem Friedrich Hegel
Hegel
dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat.
Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan,
atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan
sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang
empiris indrawi. Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata
sehari-hari, spontan, bukan reflektif sehingga terkesan abstrak, umum, statis
dan konseptual. Pengingkaran adalah konsep pengertian pertama (pengiyaan)
dilawan-artikan, sehingga muncul konsep pengertian kedua yang kosong, formal,
tak tentu dan tak terbatas. Menurut Hegel, dalam konsep kedua sesungguhnya
tersimpan pengertian dari konsep yang pertama. Kontradiksi merupakan motor
dialektika (jalan menuju kebenaran) maka kontradiksi harus mampu membuat konsep
yang bertahan dan saling mengevaluasi. Kesatuan kontradiksi menjadi alat untuk
melengkapi dua konsep pengertian yang saling berlawanan agar tercipta konsep
baru yang lebih ideal. Yang membedakan filsafat Hegel filsuf-filsuf lain
bukanlah pertama-tama apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel
mengetahui adalah proses di mana objek yang diketahui dan subjek yang
mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama atau selesai.
Menurut
Hegel, negara merupakan roh absolut yang kekuasaannya melampaui hak-hak
individu itu sendiri. Menurut Hegel, negara termasuk suatu proses dalam
perkembangan ide mutlak yang ditandai adanya perkembangan dialektis
tesis-antitesisnya, antitesis kemudaian melahirkan sintesis. Berbeda dengan J.J
Rousseau dan John Locke, maupun kalangan marxis yang melihat negara sebagai alat
kekuasaan, Hegel justru berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan
tujuan itu sendiri. Dalam logika Hegel rakyat harus menjadi abdi negara untuk
kebaikan dan kesehjahtraan masyarakat itu sendiri.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah
kesatuan masyarakat yang tersusun secara integral. Masyarakat merupakan
kesatuan organis yang tidak terpisah dan bergerak bersama kedalam satu tujuan
tunggal yang hakiki. Dalam proses penemuan tujuan hakiki ini, pemimpin berperan
sebagai kepala yang akan menuntun pergerakan dari unsur-unsur organis lainnya,
sehingga tercipta keselarasan antara pimpinan dan rakyat.
4. Jean Baudrillard
Fondasi filsafat Baudrillard adalah
kritisisme terhadap pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah
mengganti realitas dengan ilusi tentang kebenaran. Baudrillard menjelaskan konsep dasar tentang konsumsi dengan
menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang berperan dalam
menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Baudrillard menyatakan, situasi masyarakat
kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh
faktor konsumsi. Pada kenyataannya manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan
atas kebutuhan-kebutuhannya.
Rasionalitas konsumsi dalam sistem masyarakat konsumen telah jauh berubah,
karena saat ini masyarakat membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan (needs) namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire).
Masyarakat konsumsi akan ”membeli” simbol-simbol yang melekat pada suatu objek,
sehingga objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai
tukarnya. Nilai simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas. Untuk menjadi objek
konsumsi, suatu objek harus menjadi tanda (sign), karena hanya dengan
cara demikian, objek tersebut dapat dipersonalisasi dan dapat di konsumsi.
Inti
teori Baudrillard adalah memperdebatkan makna dengan realita, melihat realitas
kontemporer kemudian merefleksikan masa depan dengan memberi peringatan dini
tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang jika kecenderungan realitas
kontemporer hari ini terus berlanjut. Menurut analisis Baudrillard, globalisasi
telah menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model global yang
berperilaku “seragam”. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh media yang
berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan. Hal tersebut
berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat.
Menurut
teori Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi berdasarkan use
value atau exchange value melainkan hadir nilai baru yang disebut “symbolic
value”. Maksudnya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai
tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda / simbolis yang sifatnya
abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari
tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk,
melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia, produk
ditawarkan sebagai simbol prestise & gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa
bangga yang klise dalam diri pemakainya.
5. Michael Foucault
Teori Michel Foucaut tentang kekuasaan, wacana, dan pengetahuan
merupakan aspek-aspek yang tidak terpisahkan. Terminologi episteme,
dalam pemikiran Michel Foucault, berarti korelasi epistemologis yang dalam, di
antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa dan kurun
tertentu.
Michel Foucault meninggalkan anggapan
lama yang memandang bahwa pengetahuan hanya mungkin berkembang di luar wilayah
kekuasaan antara pengetahuan dan kuasa justru terdapat relasi yang saling
berkembang tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan
pengetahuan dan tidak pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi
kuasa. Ada kesamaan antara Michel Foucault dengan Jacques Lacan berkenaan
dengan bahasa. Michel Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek,
tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Kuasa ada dimana-mana, karena itu,
kekuasaan bisa ditemukan dalam segala bidang interaksi manusia: keluarga,
politik, ekonomi, sosial, agama dan sebagainya.
Teori Foucault yang sangat terkenal
adalah kritiknya atas teori kekuasaan Karl Marx. Dia bersedia melakukan
konfrontasi dengan tokoh yang menjadi idola para mahasiswa semasanya. Pemikiran
Michel Foucault tentang kekuasaan mau memeriksa salah satu segi proses
peradaban Barat, yaitu agresi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat
“Pencerahan”. Agresi rasio dengan kepastiankepastian yang dibawa oleh filsafat
Pencerahan ini mendapat kritik tajam dari Michel Foucault, yakni terhadap
filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sustem dan terhadap metode
pembahasannya Kekacauan kejadian-kejadian sejarah mengungkap peran para filsuf
sejarah yang selalu berorientasi pada sistem.
Persoalan sejarah bukan untuk
menjadikan koheren apa yang tidak koheren. Sejarah bukan untuk mempertahankan
rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konflik kekuasaan dan ideologi.
Kritik ini jelas diarahkan pada konsepsi Hegel tentang sejarah sebagai
dialektika. Kehebatan dialektika terletak pada kemampuannya mengubah dari
kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan
menjadi momen di mana kesadaran jadi lebih jelas.
Menurut Michel Foucault, sintesis
yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi
pemecahan antisipatif terhadap kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik.
Kebenaran semacam itu diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan
kepentingan dan hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Michel Foucault, dengan
arkeologi pengetahuan, justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu
menyadari perbedaanperbedaan kepentingan dari setiap representasi dunia baru.
Pengaruh Nietzsche dalam diri Michel Foucault memperlihatkan bagaiman pandangan
Michel Foucault tentang sejarah.
Michel Foucault menolak
menggambarkan sejarah sebagai ilmu-ilmu sebagai sejarah kemajuan, gerak
tunggal, seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan. Tujuan ini ialah menjelaskan
kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia terhadap dunia demi
kesejahteraannya.
6. Pierre Bourdieu
Bourdieu adalah filsuf yang terkenal dengan komitmennya sebagai
'intelektual publik' hingga akhir hayatnya. Gagasan utamanya terdiri dari
"habitus", "modal", "ranah" atau
"arena", dan "kekerasan simbolik." Konsep "habitus"
Bourdieu dikenal karena kebaruannya yang dapat mengatasi dualisme antara individu dan masyarakat; struktur dan agen; serta objektivisme dan
subjektivisme yang disebut juga sebagai strukturalisme genetik atau
konstruktivisme strukturalis. Konsep "habitus" Bourdieu dapat
digunakan pula sebagai analisis mekanisme dominasi.
Dalam pandangannya dominasi tidak lagi diamati hanya dari akibat-akibat
luar, melainkan juga dari akibat-akibat yang dibatinkan. Pemikiran Bourdieu
juga membangun suatu pandangan sosiologi pada berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, politik, dan seni dengan memperhatikan dimensi
simbolik yang tidak dibahas dalam tradisi sosiologi klasik Karl Marx; serta
mengembangkan pendekatan sosiologi Weber dalam
menjelaskan teori mekanisme-mekanisme dominasi. Namun, pemikiran Bourdieu tidak
terlepas dari berbagai kritik misalnya penggunaan gaya bahasa yang sulit
dimengerti, serta penggunaan analogi pada konsep "habitus" dan
"ranah" yang dianggap terlalu menitikberatkan pada determinisme sehingga
mereduksi realitas dan mengabaikan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Berdasarkan ketiga model pendekatan di
atas, dapat dikatakan bahwa Bourdieu menawarkan tiga perspektif yang segar
(atau boleh dikatakan baru) dalam memahami masyarakat. (1) penggunaan konsep habitus
dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur
sosial, kebebasan-determinisme. (2) Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan
strategi dominasi. Menurutnya, dominasi tidak lagi diamati melulu dari
akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan (habitus).
Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada pelaku sosial, sosiologi memberi
argumen yang dapat menggerakan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial
lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif.
(3) Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup
sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis
yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dikatakan menjadi
infrastruktur ekonomi. Dia mengemukakan pandangan bahwa lingkup sosial dibentuk
dari beragam ranah yang otonom, (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya
ekonomi) yang mendefinisikan model-model dominasi.
Ketiga sumbangan pemikiran itu,
mungkin menunjukan keterputusan dengan beberapa tradisi sosiologis baik dari
Marx maupun Weber, meskipun jejak kedekatannya masih terasa. Bourdieu memang
terinspirasi dari Marx ketika berbicara tentang tatanan sosial melalui
paradigma dominasi, namun ia kemudian membedakan dirinya dari Marx ketika
mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan bidang
budaya. Dari Weber, Bourdieu mengembang-kan apa yang disebut tindakan bermakna.
Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku orang lain. Legitimasi
kekuasaan Weber, oleh Bourdieu digunakan untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme
dominasi, makna simbol justru sangat berperan untuk penjelasan tentang
kekerasan simbolis. Bahwa yang dikuasai menerima dan merasa solider dengan yang
menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan yang ada. Jadi, ada semacam
persetujuan dari pihak yang dikuasai.
No comments:
Post a Comment