Powered By Blogger

Monday, September 10, 2018

Teori-Teori Pembangunan


1.      Karl Heinrich Marx
Teori Marx bertumpu pada pemikiran bahwa sejarah dari masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Dengan kata lain, teori kelas berpraanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial.  Misalnya saja keterasingan manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnnya.
Teori yang dikemukakan oleh Karl Marx ini bukanlah teori yang eksplisit, melainkan sebuah latar belakang uraian Marx tentang hukum perkembangan sejarah, kapitalisme dan sosialisme. Dalam teori ini, Marx membedakan masyarakat berdasarkan mode produksi (teknologi dan pembagian kerja). Dari masing-masing mode produksi tersebut lahir sistem kelas yang berbeda dimana suatu kelas mengontrol sistem produksi (kelas pemilik modal) dan kelas yang lain merupakan produsen langsung serta penyedia layanan untuk kelas dominan (kelas buruh). Faktor ekonomi inilah yang akhirnya mengatur hubungan sosial pada masyarakat kapitalisme.
Karl Marx mengemukakan teorinya berdasar atas sejarah perkembangan masyarakat dimana perkembangan masyarakat itu melalui 5 tahap yaitu masyarakat komunal, masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Dalam perkembangan perekonomian di masyarakat, Karl Marx membagi menjadi tiga tahapan yaitu feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme.
Marx berpendapat bahwa kemampuan para pengusaha untuk mengakumulasi modal terletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan nilai lebih produktivitas buruh yang dipekerjakan. Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari
kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Di sisi lain, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisir dari kelas kerja internasional.
2.      Maximilian Weber
Weber menjelaskan temuannya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori tentang rasionalisasi. Secara spesifik, berkembangnya birokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial.
Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik dari rasionalisasi, dan memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke dalam diskusi yang lebih luas tentang lembaga politik. Weber membedakan tiga jenis sistem otoritas yaitu tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Sistem otoritas rasional-legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat Barat Modern dan hanya dalam sistem itulah birokrasi tersebut dapat berkembang penuh. Masyarakat di belahan dunia lain masih didominasi sistem otoritas tradisional ataupun karismatik yang merupakan rintangan perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern.
Weber juga membuat analisis rinci tentang mengapa sistem ekonomi rasional yang berkembang di dunia barat, gagal berkembang di belahan dunia lain. Dalam hal ini, Weber mengakui peran sentral agama, dimana dia di satu sisi terlibat dialog dengan Marxis untuk menunjukan bahwa agama bukanlah sebuah epifenomena semata, melainkan agama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme di Barat, tetapi gagal di masyarakat belahan dunia yang lain. Weber menegaskan, sistem agama rasionallah (Calvinisme) yang berperan sentral dalam pertumbuhan kapitalisme di Barat. Tapi dibelahan dunia lain, Weber mengkaji dan menemukan sistem agama yang irrasional yang merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional, walaupun pada akhirnya rintangan tersebut hanya untuk sementara karena sistem ekonomi bahkan seluruh struktur sosial masyarakat akan menjadi rasional.
3.      Georg Willem Friedrich Hegel
Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi. Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata sehari-hari, spontan, bukan reflektif sehingga terkesan abstrak, umum, statis dan konseptual. Pengingkaran adalah konsep pengertian pertama (pengiyaan) dilawan-artikan, sehingga muncul konsep pengertian kedua yang kosong, formal, tak tentu dan tak terbatas. Menurut Hegel, dalam konsep kedua sesungguhnya tersimpan pengertian dari konsep yang pertama. Kontradiksi merupakan motor dialektika (jalan menuju kebenaran) maka kontradiksi harus mampu membuat konsep yang bertahan dan saling mengevaluasi. Kesatuan kontradiksi menjadi alat untuk melengkapi dua konsep pengertian yang saling berlawanan agar tercipta konsep baru yang lebih ideal. Yang membedakan filsafat Hegel filsuf-filsuf lain bukanlah pertama-tama apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel mengetahui adalah proses di mana objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama atau selesai.
Menurut Hegel, negara merupakan roh absolut yang kekuasaannya melampaui hak-hak individu itu sendiri. Menurut Hegel, negara termasuk suatu proses dalam perkembangan ide mutlak yang ditandai adanya perkembangan dialektis tesis-antitesisnya, antitesis kemudaian melahirkan sintesis. Berbeda dengan J.J Rousseau dan John Locke, maupun kalangan marxis yang melihat negara sebagai alat kekuasaan, Hegel justru berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan itu sendiri. Dalam logika Hegel rakyat harus menjadi abdi negara untuk kebaikan dan kesehjahtraan masyarakat itu sendiri.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang tersusun secara integral. Masyarakat merupakan kesatuan organis yang tidak terpisah dan bergerak bersama kedalam satu tujuan tunggal yang hakiki. Dalam proses penemuan tujuan hakiki ini, pemimpin berperan sebagai kepala yang akan menuntun pergerakan dari unsur-unsur organis lainnya, sehingga tercipta keselarasan antara pimpinan dan rakyat.
4.      Jean Baudrillard
Fondasi filsafat Baudrillard adalah kritisisme terhadap pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti realitas dengan ilusi tentang kebenaran. Baudrillard menjelaskan konsep dasar tentang konsumsi dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Baudrillard menyatakan, situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataannya manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan atas kebutuhan-kebutuhannya.
Rasionalitas konsumsi dalam sistem masyarakat konsumen telah jauh berubah, karena saat ini masyarakat membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan (needs) namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Masyarakat konsumsi akan ”membeli” simbol-simbol yang melekat pada suatu objek, sehingga objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai tukarnya. Nilai simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas. Untuk menjadi objek konsumsi, suatu objek harus menjadi tanda (sign), karena hanya dengan cara demikian, objek tersebut dapat dipersonalisasi dan dapat di konsumsi.
Inti teori Baudrillard adalah memperdebatkan makna dengan realita, melihat realitas kontemporer kemudian merefleksikan masa depan dengan memberi peringatan dini tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang jika kecenderungan realitas kontemporer hari ini terus berlanjut. Menurut analisis Baudrillard, globalisasi telah menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model global yang berperilaku “seragam”. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh media yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan. Hal tersebut berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat.
Menurut teori Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi berdasarkan use value atau exchange value melainkan hadir nilai baru yang disebut “symbolic value”. Maksudnya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda / simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk, melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia, produk ditawarkan sebagai simbol prestise & gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya.
5.      Michael Foucault
Teori Michel Foucaut tentang kekuasaan, wacana, dan pengetahuan merupakan aspek-aspek yang tidak terpisahkan. Terminologi episteme, dalam pemikiran Michel Foucault, berarti korelasi epistemologis yang dalam, di antara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa dan kurun tertentu.
Michel Foucault meninggalkan anggapan lama yang memandang bahwa pengetahuan hanya mungkin berkembang di luar wilayah kekuasaan antara pengetahuan dan kuasa justru terdapat relasi yang saling berkembang tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan tidak pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Ada kesamaan antara Michel Foucault dengan Jacques Lacan berkenaan dengan bahasa. Michel Foucault mengatakan bahwa yang berbicara bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa. Kuasa ada dimana-mana, karena itu, kekuasaan bisa ditemukan dalam segala bidang interaksi manusia: keluarga, politik, ekonomi, sosial, agama dan sebagainya.
Teori Foucault yang sangat terkenal adalah kritiknya atas teori kekuasaan Karl Marx. Dia bersedia melakukan konfrontasi dengan tokoh yang menjadi idola para mahasiswa semasanya. Pemikiran Michel Foucault tentang kekuasaan mau memeriksa salah satu segi proses peradaban Barat, yaitu agresi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat “Pencerahan”. Agresi rasio dengan kepastiankepastian yang dibawa oleh filsafat Pencerahan ini mendapat kritik tajam dari Michel Foucault, yakni terhadap filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sustem dan terhadap metode pembahasannya Kekacauan kejadian-kejadian sejarah mengungkap peran para filsuf sejarah yang selalu berorientasi pada sistem.
Persoalan sejarah bukan untuk menjadikan koheren apa yang tidak koheren. Sejarah bukan untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konflik kekuasaan dan ideologi. Kritik ini jelas diarahkan pada konsepsi Hegel tentang sejarah sebagai dialektika. Kehebatan dialektika terletak pada kemampuannya mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan menjadi momen di mana kesadaran jadi lebih jelas.
Menurut Michel Foucault, sintesis yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi pemecahan antisipatif terhadap kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik. Kebenaran semacam itu diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan kepentingan dan hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Michel Foucault, dengan arkeologi pengetahuan, justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu menyadari perbedaanperbedaan kepentingan dari setiap representasi dunia baru. Pengaruh Nietzsche dalam diri Michel Foucault memperlihatkan bagaiman pandangan Michel Foucault tentang sejarah.
Michel Foucault menolak menggambarkan sejarah sebagai ilmu-ilmu sebagai sejarah kemajuan, gerak tunggal, seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan. Tujuan ini ialah menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia terhadap dunia demi kesejahteraannya.
6.      Pierre Bourdieu
Bourdieu adalah filsuf yang terkenal dengan komitmennya sebagai 'intelektual publik' hingga akhir hayatnya. Gagasan utamanya terdiri dari "habitus", "modal", "ranah" atau "arena", dan "kekerasan simbolik." Konsep "habitus" Bourdieu dikenal karena kebaruannya yang dapat mengatasi dualisme antara individu dan masyarakat; struktur dan agen; serta objektivisme dan subjektivisme yang disebut juga sebagai strukturalisme genetik atau konstruktivisme strukturalis. Konsep "habitus" Bourdieu dapat digunakan pula sebagai analisis mekanisme dominasi.
Dalam pandangannya dominasi tidak lagi diamati hanya dari akibat-akibat luar, melainkan juga dari akibat-akibat yang dibatinkan. Pemikiran Bourdieu juga membangun suatu pandangan sosiologi pada berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, politik, dan seni dengan memperhatikan dimensi simbolik yang tidak dibahas dalam tradisi sosiologi klasik Karl Marx; serta mengembangkan pendekatan sosiologi Weber dalam menjelaskan teori mekanisme-mekanisme dominasi. Namun, pemikiran Bourdieu tidak terlepas dari berbagai kritik misalnya penggunaan gaya bahasa yang sulit dimengerti, serta penggunaan analogi pada konsep "habitus" dan "ranah" yang dianggap terlalu menitikberatkan pada determinisme sehingga mereduksi realitas dan mengabaikan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Berdasarkan ketiga model pendekatan di atas, dapat dikatakan bahwa Bourdieu menawarkan tiga perspektif yang segar (atau boleh dikatakan baru) dalam memahami masyarakat. (1) penggunaan konsep habitus dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. (2) Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Menurutnya, dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan (habitus). Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada pelaku sosial, sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif. (3) Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dikatakan menjadi infrastruktur ekonomi. Dia mengemukakan pandangan bahwa lingkup sosial dibentuk dari beragam ranah yang otonom, (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi) yang mendefinisikan model-model dominasi.

Ketiga sumbangan pemikiran itu, mungkin menunjukan keterputusan dengan beberapa tradisi sosiologis baik dari Marx maupun Weber, meskipun jejak kedekatannya masih terasa. Bourdieu memang terinspirasi dari Marx ketika berbicara tentang tatanan sosial melalui paradigma dominasi, namun ia kemudian membedakan dirinya dari Marx ketika mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan bidang budaya. Dari Weber, Bourdieu mengembang-kan apa yang disebut tindakan bermakna. Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku orang lain. Legitimasi kekuasaan Weber, oleh Bourdieu digunakan untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme dominasi, makna simbol justru sangat berperan untuk penjelasan tentang kekerasan simbolis. Bahwa yang dikuasai menerima dan merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.

No comments:

Post a Comment